Rabu, 28 November 2018

PENAFSIRAN ALEGORI MAKALAH ILMIAH

PENAFSIRAN ALEGORI

Pendahuluan
      Alegori dikenal sebagai sebuah penafsiran yang hampir menyerupai perumpamaan. Tetapi biasanya alegori lebih panjang dan terperinci daripada perumpamaan dan kiasan. Alegori mempunyai hubungan yang erat dengan perumpamaan. Itu sebabnya buku-buku hermeneutik sering menempatkan pembahasan kedua topik ini berdekatan. Pada dasarnya alegori merupakan metafora yang lebih luas, sedangkan perumpamaan merupakan ibarat yang lebih panjang. Atau boleh dikatakan, alegori merupakan cerita yang mengadakan beberapa perbandingan. Itu sebabnya dalam alegori terdapat ide-ide yang sulit dipastikan maknanya. Tidak sama dengan perumpamaan, biasanya alegori menggabungkan cerita dan penjelasan (aplikasi) menjadi satu. Perumpamaan biasanya hanya memiliki satu tujuan utama, dan analogi-analogi dalam perumpamaan ini mendukung tujuan ini. Tidak demikian dengan alegori. Alegori dapat memiliki tujuan disamping satu tujuan saja. Kata alegori (allegory) berasal dari bahasa Yunani yang berbentuk verba yaituallhgorew artinya mengibaratkan. Kata ini hanya dipakai satu kali di Surat Galatia 4 : 24.[1]
a.          Defenisi
Alegori merupakan salah satu model tafsir yang terkenal pada abad pertama hingga abad pertengahan. Pendekatan ini digunakan untuk mencari makna dibalik kata-kata yang tertulis di dalam teks. Di kalangan rabi-rabi Yahudi, model ini merupakan salah satu alternatif model tafsir, selain penafsiran literermidrash, dan pesher. Dengan kata lain, alegori adalah perumpamaan yang jauh lebih rumit. Berbeda dengan perumpamaan, alegori tidak begitu memperhatikan nasihat moral melainkan kebenaran yang bersifat teoritis.
            Pendekatan alegori lahir untuk menyikapi pesan teks-teks Alkitab. Pendekatan ini dilahirkan oleh seorang penafsir Yahudi pada abad pertama yang bernama Philo. Keberadaan teks-teks kuno seperti Taurat dalam tradisi Yahudi dan mitologi-mitologi dalam tradisi Yunani tidak lagi dianggap sebagai sebuah kebetulan, tetapi menyimpan pesan moral dan nilai-nilai kebenaran yang dari masa lampau. Dengan pendekatan alegori, Philo yakin pesan-pesan spiritual yang tidak dapat diungkapkan oleh teks secara harafiah dapat diungkap.

b.       Pertama Dirumuskan
Tafsir alegori diperkenalkan oleh orang-orang Yunani yang secara khusus dikembangkan melalui filsafat Stoa. Pendekatan ini dinilai sebagai solusi untuk menjembatani ketegangan antara mitologi-mitologi Yunani dan perkembangan filsafat. Dengan demikian, tafsiran alegori umumnya bersifat pembelaan (apologetis).
c.          Alasan Perlunya Penafsiran Alegoris
Menurut Philo, ada alasan-alasan tertentu yang membuat arti harafiah teks Alkitab harus ditolak. Untuk itu, dia mendaftarkan 10 alasan mengapa teks perlu ditafsir secara alegoris:
1.     Jika makna literer teks tidak mengatakan apa yang benar megenai Tuhan.
2.     Jika teks bertentangan dengan teks yang lain.
3.     Jika teks tampaknya harus ditafsir alegoris.
4.     Jka teks menampilkan kata-kata yang bermaknya ganda.
5.     Jika teks memuat pengulangan yang telah diketahui sebelumnya.
6.     Jika teks memuat penggambaran yang beragam.
7.     Jika muncul kata-kata yang sinonim.
8.     Jika ada hal-hal yang tidak normal muncul di dalam teks.
9.     Jika teks memuat permainan kata.
10. Jika teks memuat simbol-simbol
Philo berbuat demikian karena bermaksud membela teologi orang Yahudi di depan filsafat Yunani, dan membuat Kitab Suci relevan bagi orang yang sezaman dengannya. Dia membaca Kitab Suci sebagai kumpulan simbol yang berguna untuk kerohanian dan moral manusia. Itu sebabnya Kitab Suci tidak boleh ditafsir dengan pendekatan harafiah dan historis. Walaupun adakalanya dia bersikap bahwa penafsiran harafiah dan alegoris boleh hidup bersama. Selain itu Philo percaya ketika menulis Kitab Suci, para penulis sesungguhnya berada pada keadaan pasif dan tidak menguasai diri.

Dia juga berpendapat makna harafiah hanya bagi mereka yang belum memiliki daya pikir yang dewasa. Jadi makna harafiah ibarat tubuh jasmaniah Alkitab, sedangkan makna Alegoris makna yang terpendam dibawah makna harafiah, sama seperti roh atau jiwa Alkitab.[2]
Philo bukan satu-satunya orang Yahudi yang menafsir dengan pendekatan alegoris, atau sebelum atau sesudah zaman itu. Selain dipengaruhi filsuf Yunani, dia juga dipengaruhi oleh rabi-rabi yang menafsir secara alegoris. Walaupun penafsiran pola ini tersebar luas diantara prang Yahudi abad pertama tetapi tidak dominan di Palestina.
d.          Metode Penafsiran Alegoris
Alegori adalah metafora yang diperluas. Seperti metafora, alegori dipakai untuk mengibaratkan sesuatu sebagai sesuatu yang lain, tapi lebih rinci dan panjang daripada metafora. Alegori adalah cerita yang mengajarkan banyak kebenaran melalui pelbagai metafora, sedangkan perumpamaan biasanya hanya mengajarkan satu pokok kebenaran. Berbeda dari perumpamaan, tidak setiap alegori mempunyai alur cerita - walaupun ada juga yang memiliki alur, seperti Gal 4:21-31. Contoh-contoh alegori lainnya terdapat dalam Mzm 80:8-15Ams 5:3-5Pkh 12:3-7Yoh 15:1-81 Kor 3:10-15.
e.          Hal – Hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Penafsiran
1.      Alegori memiliki persamaan dengan metafora, perumpamaan, dan ibarat. Jadi banyak prinsip dan metode yang berlaku atas tiga macam bahasa kiasan terakhir ini, juga berlaku atas alegori
2.      Untuk memahami alegori, penafsir perlu terlebih dahulu menanggapi tujuan utama alegori tersebut. Biasanya alegori memiliki sebuah tujuan utama di samping beberapa tujuan pendamping. Jangan dibingungkan oleh tujuan pendamping atau perbandingan yang ada dalam alegoris, sehingga memasukkan terlalu banyak ide penafsir sendiri ke dalamnya.
3.      Perhatikan konteks alegori yang ditafsir. Bila perlu, bacalah berulang kali seluruh kitab yang bersangkutan. Ini sangat menolong penafsir menemukan tujuan alegori itu. Dalam penyelidikan konteks, selalu memperhatikan sebab alegori ini diberikan, pembaca atau pendengar yang terlibat, reaksi mereka, serta ajaran yang ingin disampaikan alegori ini.
4.      Banyak alegori dapat dipahami dari penjelasan yang tercantum di dalam kitab yang terkait.
5.      Untuk lebih menguasai isi sebuah alegori, penafsir boleh membuat daftar yang mencantumkan informasi yang diberikannya. Daftar ini menunjukkan apa yang disampaikan alegoris itu, apa yang sudah dijelaskan penulis kitab, dan apa yang belum dijelaskannya. Penafsiran atas alegori harus didukung oleh data dalam alegori itu sendiri. Buatlah penjelasan yang sesederhana atau senatural mungkin. Jangan menjelaskan setiap perbandingan jika itu tidak memungkinkan.
6.      Perhatikan bagian lain dalam Alkitab yang mungkin memberi informasi tambahan.
7.      Jangan melalaikan budaya, kebiasaa, kehidupan sosial, lingkunga, sejarah, dan lain-lain yang mungkin berhubungan dengan alegori yang terkait. Beri perhatian khususnya kepada ungkapan yang lazim dipakai pada zaman itu.
8.      Sebagai salah satu jenis bahasa kiasan, alegori jangan ditafsirkan dengan makna harfiah saja. Namun demikian, sebelum menafsirnya secara kiasan, penafsir perlu menguasai makna harfiahnya terlebih dahulu.[3]
1.         Sejarah Perkembangan metode tafsir
a.         Perkembangan Penafsiran Alegori
Kekristenan perdana yang banyak berjumpa dengan filsafat Yunani menjadikan tafsir alegoris sebagai solusi untuk memahami pesan-pesan Alkitab.  Secara khusus, penafsiran Alegoris diwariskan oleh gereja-gereja Barat yang memang banyak begumul dengan filsafat Yunani. Contoh konkret terlihat pada zaman Patristik ketika Bapa-bapa gereja memahami bahwa Perjanjian Lama sebagai Alkitab orang Kristen harus digunakan untuk mendukung Perjanjian Baru. Dengan demikian metode yang digunakan adalah metode alegoris.
Secara khusus Origenes mengatakan bahwa Alkitab adalah tempat berkumpulnya alegori-alegori yang penuh dengan simbol. Sama seperti manusia yang terdiri dari tubuh, jiwa, dan roh maka Alkitab juga dibagi dalam tiga makna, yaitu literal (dipadankan dengan tubuh), moral (jiwa), alegoris (roh). Dari ketiga tingkatan ini, menurut Origenes, Alegorislah yang paling penting.

a.          Perkembangan Kemudian
Setelah Abad Pertengahan, khususnya sejak zaman Reformasi, tafsir alegoris mulai ditinggalkan. Alkitab diyakini dapat menafsir dirinya sendiri (scriptura scripturae interprets). Sikap reformasi ini memang tidak mematikan pendekatan terhadap Alkitab, termasuk pendekatan alegorisAkan tetapi, sikap tersebut mendorang para penafsir untuk lebih berfokus persoalan gramatika dan sejarah teks.
c.       Yang menggunakan Tafsiran Alegori dan konteks sosialnya
Demi melawan ajaran bidah dan berupa menerima PL sebagai Kitab Suci orang Kristen, bapa-bapa gereja menggunakan penafsiran alegoris.
Theogenes dari Rhegium (kira-kira tahun 520 Seb.M) mungkin adalah orang pertama yang menafsir secara alegoris karya sastra yang bersifat agama yang ditulis oleh Homerus. Kemudian penafsiran ini diperkenalkan kepada Aleksandria, yang ada komunitas besar orang Yahudi. Disana pula banyak orang Kristen tinggal. Orang Yahudi di Aleksandria menghadapi masalah dengan orang Yunani dan mereka menghadapi ketegangan antara Kitab Suci dan filsafat Yunani khususnya filsafat Plato. Untuk mengatasi persoalan ini, mereka menggunakan pendekatan alegoris ini. Aritstobulus yang hidup pada tahun 160 seb.M mungkin adalah orang Yahudi pertama  yang menerima pendekatan ini. Dia percaya bahwa sesungguhnya Musa mengajar filsafat Yunani, dan filsafat Yunani sudah meminjam ide-ide PL, khususnya Hukum Taurat. Berkenan dengan ini sudah tentu nama Philo sangat terkenal
Di Aleksandria, Philo menggunakan metode alegoris untuk mengurangi referensi dan hal-ikhwal dalam PL yang menyakitkan hati bagi para penyembah berhala. Origenes di Aleksandria (200 M) melanjutkan metode ini demi kepentingan kekristenan. Di balik rincian ritual dan sejarah yang tidak menyenangkan, Origenes menemukan kebenaran-kebenaran abadi.
Dengan mengusulkan bahwa PL memiliki lapisan-lapisan makna di balik yang harfiah, ia membuat PL dapat diterima dan ia mempertegas kesatuan PL dengan PB, yang berlawanan dengan pandangan orang seperti Marcion. Dalam Injil-injil beberapa perumpamaan telah diberi pemaknaan alegoris, dan dikatakan bahwa rincian perumpamaan berisi arti yang lebih dalam, sebagaimana perumpamaan Seorang Penabur (Mrk. 4:3-8, yang dijelaskan dengan 4:14-20). Bagi mereka yang cenderung pada pandangan keras, bahwa perumpamaan-perumpamaan Yesus memiliki makna tunggal, tidak bermacam-macam, alegorisasi seperti itu menunjukkan perkembangan dalam persekutuan setelah zaman Yesus. Hal ini tidak harus dianggap tidak sah, tetapi terbuka bagi para pembaca dari kebudayaan dan generasi yang berbeda-beda, untuk memberikan penafsirannya sendiri atas teks-teks tersebut. Penulis aslinya tidak memiliki hak cipta atas interpretasi tertentu. Ia hanya menyampaikannya dengan cara itu, dan kemudian memperoleh makna-makna baru, sekalipun bukan sekadar khayalan atau kesewenang-wenangan. Namun, kini banyak sarjana menerima bahwa Yesus sendiri kemungkinan menggunakan beberapa alegori dalam perumpamaan-perumpamaan-Nya. Dengan mengambil pembedaan Paulus (2Kor. 3:6) antara 'yang tersurat' dengan 'yang tersirat', umat Kristen menafsirkan secara alegoris ketetapan-ketetapan dalam Taurat yang tidak lagi dipatuhi, seperti seluruh sistem kesucian ritual. Dengan demikian, berarti mereka menghormati kepengarangan Kitab Suci yang telah mereka terima (PL) dan juga menjadikannya relevan bagi iman dan praktik mereka. Bapa-bapa umat Kristen setelah Origenes sangat menyenangi metode alegoris dan menerapkannya untuk PB. Augustinus menganggap semua bagian di dalam perumpamaan Yesus tentang Orang Samaria yang Baik Hati mempunyai makna yang 'lebih dalam'; jadi, rumah penginapan (Luk. 10: 34) yang memberi pertolongan itu melambangkan Gereja.[4]

2.         Contoh Penafsiran Alegoris
1.                  Penafsiran Alegoris Philo dapat sedikit dikenal melalui penjelasannya untuk kitab Kejadian 2 : 10-14. Ia berpendapat nama sungai-sungai dalam kitab Kejadian mempunyai arti tertentu. Pison adalah kebijaksanaan; Gihon adalah keberanian; Tigris adalah penguasaan diri; sedangkan Efrat adalah keadilan.
2.                  Dalam surat Paulus yang ditujukan ke daerah Galatia, yaitu Galatia (4:21-31) memberikan contoh perbandingan antara Hagar dan Sara dalam kaitan orang merdeka dan budak. Melalui penafsiran alegoris-tipologis narasi Sara dan Hagar dalam kitab Kejadian, Paulus hendak menekankan perbedaan antara hidup di bawah HT (Hukum Taurat) dan Anugerah.
3.                  Cerita zakheus, dalam cerita ini ada simbol-simbol yang bisa diangkat; seperti: ZAKHEUS PENDEK, ORANG BANYAK, POHON DAN YESUS.
   ZAKHEUS PENDEK
Pendek melambangkan keterbatasan. Zakheus orangnya pendek, dia tidak pernah merencanakan tubuhnya pendek, tetapi dia sudah terlahir pendek. "PENDEK" menunjukkan terbatas. Zakheus sangat terbatas, dia tidak bisa melihat Yesus, karena dia pendek, sedangkan orang-orang pada zaman itu tinggi-tinggi.

ORANG BANYAK
Orang banyak melambangkan masalah, orang banyak membuat Sakeus tidak bisa melihat Yesus, seandainya orang banyak tidak ada, maka Sakeus tidak mengalami masalah. Orang banyak adalah masalah bagi sakeus, maka dia mencari jalan keluar.
POHON
Pohon melambangkan  solusi, Sakeus memanjat pohon, karena dia pendek, maka dengan baik pohon dia bisa melihat Yesus.
Penafasiran ini kelihatanya benar dan menarik dan sangat inspiratif, tetapi masalahnya tidak selalu seperti. Tidak selalu pendek menjadikan terbatas, tidak selalu orang banyak jadi masalah, dan tidak selalu pohon ada solusi.
Jika dianalisa: Dimana ada orang banyak, disuti ada pohon.(belum tentu) atau dimana ada orang pendek, disitu selalu ada pohon (tidak ada jamin, apalagi kalau dipadang gurun).
Ada beberapa contoh lain dalam nats Alkitab yang menggunakan pendekatan alegoris, yaitu : Hak 9 : 8 – 15 ( Pohon-pohon yang mencari seorang raja), Yes 11 : 6 – 8 (Kerajaan Allah menggambarkan tentang serigala dan domba yang tinggal bersamaan), Yes 35  ( Padang Gurun mekar sebagai mawar), Gal 4 : 24 (dua perjanjian).[5]
3.         Kelebihan dan Kelemahan
Sebenarnya ada unsur-unsur positif penafsiran alegoris, pola penafsiran ini dibangun dengan sikap yang sangat menghormati Alkitab, tujuan yang baik untuk mencari makna yang tersembunyi di dalam Alkitab. Tetapi ini tidak menutup beberapa kelemahannya yang begiu serius.
1.      Pola penafsiran ini melalaikan unsur historis dalam Alkitab , sehingga apa yang dicata sejarah seolah-olah tidak sungguh-sungguh terjadi.
2.      Penafsiran ini kurang memperhatikan faktor bahwa wahyu Allah diberikan secara bertahap, sehingga ada kalanya PL justru dianggap lebih jelas daripada PB.
3.      Penafsir alegoris percaya Alkitab terutama PL penuh dengan perumpamaan, teka-teki, dan hal-hal yang sulit dipahami. Jadi ini semua perlu dijelaskan dengan penafsiran alegoris.
4.      Mereka mengaburkan penafsiran tipologis dan alegoris. Penafsiran ini juga condong mencampur-baurkan alegori dengan misik anti alegori (rohani).
5.      Mereka percaya pola penafsiran ini dapat menemukan filsafat Yunani yang tercantum dalam PL.
6.      Menafsir alegoris bersifat sangat subyektif dan condong kepada imajinasi-imajinasi yang tidak terkontrol.
7.      Mereka menerima Firman Allah menjadi kabur dan tidak jelas.[6]
Kesimpulan
Penafsiaran alegoris merupakan bagian dari pendekatan populer penafsiran-penafsiran di zaman Yunani –Romawi. Penafsiran Alegori digunakan untuk menggali makna lebih dalam dari sutu teks yang biasaanya berupa perumpamaan. Banyak penulis dan cendikiawan yang berlatarbelakang yunani bergabung dengan agama Kristen. Hal ini mempengaruhi  penafsiran-penafsiran alegoris menjadi terkenal pada abad pertama. Pembaca teks menggali maksud yang ingin disampaikan pengarang, dan tidak berdasar pada penafiran harafiahnya.  

  




DAFTAR PUSTAKA

1.                  Pdt. Hasan Sutanto, D.Th, Hermeneutik : Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab.

2.                  R.J.Coggin dan J.L Houlden, The Dictionary of Biblical Interpretation




[1] Pdt.Hasan Sutanto, D.Th, Hermeneutik : Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab, hlm. 360

[2] Pdt.Hasan Sutanto, D.Th, Hermeneutik : Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab, hlm. 117
[3] Pdt.Hasan Sutanto, D.Th, Hermeneutik : Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab, hlm. 362-363
[4] Pdt.Hasan Sutanto, D.Th, Hermeneutik : Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab, hlm. 362-363
[5] R.J.Coggin dan J.L Houlden, The Dictionary of Biblical Interpretation
[6] Pdt.Hasan Sutanto, D.Th, Hetmeneutik : Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab, hlm. 127

Tidak ada komentar:

Posting Komentar