Rabu, 28 November 2018

PELAYANAN PERKUNJUNGAN DAN PERCAKAPAN PASTORAL -- “Fungsi Pastoral Yang Mendampingi; Dan Mendamaikan Konflik Yang Terjadi Dalam Internal Keluarga Dalam Hubungannya Dengan Panggilan Dan Pengutusan Seorang Pendeta”

PELAYANAN PERKUNJUNGAN DAN PERCAKAPAN PASTORAL

“Fungsi Pastoral Yang Mendampingi; Dan Mendamaikan Konflik Yang Terjadi Dalam Internal Keluarga Dalam Hubungannya Dengan Panggilan Dan Pengutusan Seorang Pendeta”

A.      P E N D A H U L U A N
Konseling Pastoral merupakan bagian dari ilmu pengetahuan khusus yang harus dikuasai oleh seorang pendeta. Hal tersebut sangatlah penting, karena seorang pendeta ketika berada di tengah-tengah warga jemaat, sering berjumpa dengan berbagai persoalan-persoalan dan bahkan konflik-konflik yang sering terjadi di dalam kehidupan mereka.
Kasus-kasus yang sering muncul di dalam kehidupan berjemaat, lebih banyak terjadi dalam kehidupan berkeluarga yang mengakibatkan terjadinya ketidakharmonisan, seperti; perselingkuhan, ketidakjujuran, keadaan ekonomi yang tidak stabil , pergaulan bebas, keterlibatan keluarga dalam masalah hukum, seperti kecanduan narkoba, melakukan tindakan kriminal dan lain sebagainya. Jika dibiarkan/ diabaikan, maka hal tersebut bisa saja berdampak kepada keretakan, perceraian dan bahkan berdampak pada hancurnya masa depan keluarga.
Dalam kasus-kasus lain yang sering terjadi dalam kehidupan berjemaat, adanya gesekan-gesekan, benturan-benturan, ketidakcocokan antara anggota jemaat yang satu dengan anggota jemaat yang lain karena perbedaan pemahan yang mengakibatkan terjadinya konflik. Dampaknya mulai jarang mengikuti kegiatan bergereja, bahkan yang lebih parah sampai pindah ke gereja yang lain.
Dalam kondisi-kondisi seperti itulah, maka setiap warga jemaat yang sedang mengalami situasi tersebut, akan memerlukan proses pendampingan untuk dapat memecahkan dan bahkan menyelesaikan pergumulan/persoalan yang mereka hadapi. Biasanya warga jemaat yang sedang menghadapi masalah membutuhkan peran gereja, dalam hal ini pendeta, untuk melakukan pendampingan sekaligus dilibatkan, agar mereka dapat menyelesaikan konflik tersebut.
Konteks seperti itulah, yang mendorong saya untuk kembali belajar lebih dalam lagi mengenai bidang pastoral pada Pasca Sarjana (S2) di STT INTIM Makassar, dengan harapan bahwa ilmu yang akan saya peroleh nantinya akan menunjang saya, dalam membantu mendampingi berbagai persoalan-persoalan atau konflik-konflik yang terjadi ditengah-tengah warga jemaat yang nantinya akan mendapatkan jalan penyelesaian.
Berkenaan dengan tugas paper yang diberikan kepada saya sebagai persyaratan kelulusan mengambil Pasca Sarjana (S2), maka saya mencoba mengangkat satu masalah yang menjadi judul paper ini sebagai berikut : PERAN KONSELOR PADA KONFLIK INTERNAL KELUARGA


B.          MEMAHAMI FUNGSI PASTORAL

Yang dimaksud dengan fungsi adalah kegunaan atau manfaat yang dapat diperoleh dari pekerjaan pendampingan tersebut. Dengan demikian, fungsi pendampingan merupakan tujuan-tujuan operasional yang hendak dicapai dalam memberikan pertolongan kepada orang lain. Menurut William A. Clebsch dan Charles R. Jaekle di dalam bukunya yang berjudul Pastoral Care in Historical Perspective, terdapat 4 Fungsi Pelayanan Pastoral[1] , yakni:

1.           Pastoral sebagai Penyembuhan (Healing)

Fungsi pastoral yang bertujuan untuk mengatasi beberapa kerusakan dengan cara mengembalikan orang itu pada suatu keutuhan dan menuntun dia ke arah yang lebih baik daripada kondisi sebelumnya. Setiap orang yang mengalami penderitaan tidak dapat menerima apa yang terjadi terutama perubahan dari fungsi hidupnya. Luka batin, kerusakan tubuh seringkali tidak memampukan seseorang menerima keadaannya dengan baik, mereka merasa tidak berguna dengan keadaan yang dialami.Fungsi penyembuhan menyakinkan kembali bahwa masih ada pengharapan baru didalam kerusakan tubuhnya atau luka batinnya.

Fungsi Pastoral sebagai penyembuhan ini sangatlah signifikan terutama bagi mereka yang mengalami “luka batin” akibat kehilangan atau terbuang, yang biasanya berakibat pada penyakit Psikosomatis[2], suatu penyakit yang langsung atau tidak langsung disebabkan oleh tekanan mental yang berat. Dengan Fungsi Pastoral ini, yakni kerelaan konselor untuk mendengarkan keluhan batin seseorang yang menderita dengan penuh perhatian dan kasih, ia akan mengalami rasa aman dan kelegaan sebagai pintu masuk ke arah penyembuhan yang sebenarnya.[3]

2.       Pastoral sebagai Penopangan atau Pentabahan (Sustaining)

Fungsi Pastoral yang bertujuan menolong orang lain yang “terluka” untuk bertahan dan melewati suatu keadaan yang didalamnya pemulihan kepada kondisi semula atau penyembuhan dari penyakitnya tidak mungkin atau tipis kemungkinannya. Penopangan dilakukan supaya orang yang mengalami penderitaan berat tidak mudah kehilangan keyakinannya terutama kepada Tuhan. Seseorang yang sudah tua dan mengalami penyakit menahun seringkali menghadapi situasi yang demikian. Oleh karena itu bagi yang menderita dan orang-orang terdekat ditopang supaya mampu mempertahankan semangat hidupnya, agar tetap bertahan dalam pengharapannya. 

Kita diperhadapkan kepada seseorang yang tiba-tiba mengalami krisis mendalam (kehilangan, kematian orang-orang yang dikasihi, dukacita) dan seringkali pada saat itu kita tidak dapat berbuat banyak untuk menolong. Keadaan ini bukan berarti kita tidak dapat melakukan sesuatu, tetapi kehadiran Seseorang (pendeta misalnya) dalam rangka Fungsi Pastoral Sebagai penopangan adalah untuk membantu mereka bertahan dalam situasi krisis yang bagaimanapun beratnya. Dukungan berupa kehadiran dan sapaan yang meneduhkan dan sikap yang terbuka, akan mengurangi penderitaan mereka walaupun hampir pasti tidak dapat mengubah kenyataan yang sudah ada namun setidak-tidaknya orang tersebut tidak merasa “sendiri” atau ditinggalkan.

3.       Pastoral sebagai Pendampingan / pembimbingan (Guilding)

Fungsi Pastoral ini, berarti membantu orang-orang yang kebingungan untuk menentukan pilihan-pilihan yang pasti diantara berbagai pikiran dan tindakan alternatif, jika pilihan-pilihan demikian dipandang sebagai yang mempengaruhi keadaan jiwanya sekarang dan yang akan datang. Seseorang yang mengalami penderitaan baik kehilangan anggota tubuhnya, kehilangan keluarganya, kehilangan harta bendanya seringkali mengalami situasi sulit untuk menentukan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Kebanyakan seseorang yang kehilangan tidak siap menerima perubahan yang terjadi akibatnya mereka menjadi kehilangan arah. Fungsi pembimbingan memampukan mereka yang kehilangan agar dapat menentukan pilihan yang paling baik untuk kelanjutan hidupnya. 

Fungsi membimbing penting dalam kegiatan menolong dan mendampingi seseorang. Fungsi ini merupakan panduan untuk menunjukkan jalan yang benar bagi seseorang sampai ia dapat mengambil suatu keputusan. Orang yang didampingi, ditolong untuk memilih/ mengambil keputusan tentang apa yang akan ditempuh atau apa yang menjadi masa depannya. Pendamping mengemukakan beberapa kemungkinan yang bertanggung jawab dengan segala resikonya, sambil membimbing orang ke arah pemilihan yang berguna. Pengambilan keputusan tentang masa depan ataupun mengubah dan memperbaiki tingkah laku tertentu atau kebiasaan tertentu, tetap di tangan orang yang didampingi (penderita). Jangan sampai pendamping yang mewajibkan untuk memilih. Lebih bertanggung jawab apabila orang yang didampingi diberi kepercayaan untuk mengemukakan persoalannya bila sangat membutuhkan pemecahan.

4.       Pastoral sebagai Pendamaian (Reconsiling)

Salah satu kebutuhan manusia untuk hidup dan merasa aman adalah adanya hubungan yang baik dengan sesama, apakah dengan orang yang dekat: suami-istri, anak-anak, menantu-mertua maupun dengan orang banyak: kelompok sebaya, masyarakat dan lain-lain. Oleh sebab itu, maka manusia disebut makhluk sosial. Apabila hubungan tersebut terganggu, maka terjadilah penderitaan yang berpengaruh pada masalah emosional. Tidak jarang dengan adanya konflik tersebut, orang menjadi sakit secara fisik yang berkepanjangan. Sering orang tersebut tidak sadar persis pada posisi mana ia berpijak sehingga ia memerlukan orang ketiga yang melihat secara objekstif posisi tersebut.

Dalam situasi yang demikian, maka pendampingan pastoral dapat berfungsi sebagai perantara untuk memperbaiki hubungan yang rusak dan terganggu. Pendamping dapat menjadi cermin dalam hubungan tersebut (menganalisa hubungan). Menganalisa mana yang mengancam hubungan, akhirnya mencari alternatif untuk memperbaiki hubungan tersebut. Hal yang perlu mendapat perhatian pendamping adalah jangan sampai pendamping memihak salah satu pihak, ia hendaknya menjadi orang yang netral atau penengah yang bijaksana.

Fungsi dari Pastoral ini adalah berupaya membangun ulang relasi manusia dengan sesamanya, dan antara manusia dengan Allah. Secara tradisi sejarah, pendamaian menggunakan dua bentuk yaitu pengampunan dan disiplin, tentunya dengan didahului oleh pengakuan. Jika saya dan anda mengalami situasi yang sangat berat, tidak mau mengakui kelemahan dan cenderung menutup diri. Pendamaian berfungsi menuntun mereka kembali untuk menemukan arti kediriannya diantara relasi dengan manusia lain dan dengan Tuhan. Supaya mereka kembali berfungsi sebagaimana manusia pada umumnya.

C.         PENDETA SEBAGAI PASTOR DI TENGAH PANGGILAN DAN PENGUTUSANNYA

1.           Panggilan dan Pengutusan

a.         Makna Panggilan
Panggilan mengandung hubungan antara dua pihak, yang memanggil dan yang dipanggil. Panggilan berbeda dengan perintah, karena yang pertama lebih bersifat ajakan, sedangkan yang kedua lebih bersifat keharusan. Dalam panggilan tidak ada ketentuan ataupun waktu. Dengan kata lain, yang dipanggilan tidak perlu berada dekat dengnan titik pusat, si pemanggil. Yang dipanggil bebas untuk bertindak, memenuhi panggilannya atau menolaknya. Biasanya yang memanggil mempunyai maksud tertentu bagi yang dipanggil. Kalau isi panggilan itu jelas, menarik, menguntungkan, biasanya orang sudi menerima panggilan itu. Memang panggilan itu biasa saja bersifat paksaan, misalnya panggilan untuk menghadap, seperti yang dilakukan diinstitusi negara/ pemerintahan atau militer.

Biasanya proses pemanggilan langsung ditujukan kepada seseorang yang dikenal. Alkitab memberikan kesaksian bahwa Tuhan memanggil Musa dan Samuel langsung dengan menyebutkan nama mereka (Kel. 3 : 4; 1 Sam. 3 ; 4), begitu pula di alami Yakub (Kej. 46 : 2).[4] Itu berarti, bahwa Allah sangat mengerti dengan siapa yang akan dipanggilNya, untuk suatu pekerjaan. Apalagi mengenai pekerjaan yang akan dipercayakan Allah kepada mereka besar dan berbau tantangan. Ia memilih orang-orangNya langsung, untuk menjalankan rencana-rencananya. Syarat-syarat pemilihan atau penunjukkan-Nya mungkin jauh berbeda dengan apa yang diterapkan di kalangan masyarakat untuk memilih dan mengangkat pejabat. Ada kemampuan-kemampuan yang dilihat Tuhan, yang tidak dilihat orang. Orang yang dipilih Tuhan sendiri merasa dirinya tidak mampu (band. Abraham, Kej. 17:17-18; Musa, Kel. 4:13, juga Yeremia, Yer. 1:6). Malah pada Yeremia ada satu keanehan, yakni bahwa Tuhan telah mengenalnya sebelum ia dibentuk dalam rahim ibunya (Yer. 1:5).[5]

Itu berarti  bahwa Tuhan menyiapkan orang-Nya untuk melakukan pekerjaan-Nya jauh sebelum waktunya orang itu harus tampil. Kalau demikian, berarti Allah sendiri yang merancang setiap orang yang dipanggil untuk dipekerjakan. Bagaimana kondisi dan keberadaannya, semua pada akhirnya menjadi keputusan final dari Allah. Karena Allah sendiri yang menetapkan siapa yang akan Dia pilih dan kemuadian dipanggilNya.


b.       Makna Pengutusan
♫Kuutus kau mengabdi tanpa pambrih, berkarya trus dengan hati teguh, meski dihina dan menanggung duka; Kuutus ‘kau mengabdi bagiKu♫ Demikialah sebaris syair no. 182 dalam Pelengkap Kidung Jemaat, yang biasanya dinyanyikan umat dalam ibadah peneguhan pendeta. Syair tersebut merupakan amanat, bagi mereka yang akan melaksanakan panggilan pengutusannya. Bagi setiap pendeta yang mendengarkan syair lagu tersebut, memberikan motivasi ketika akan melaksanakan tugas pelayanannya.

Syair lagu tersebut sejajaran dengan yang diungkapkan di dalam kitab Yesaya 6 :8 “Lalu aku mendengar suara Tuhan berkata: “Siapakah yang akan Ku-utus dan siapakah yang mau pergi untuk aku?” Maka Sahutku: “Ini aku, utuslah aku!”  Persoalannya sekarang mau diutus kemana? Hal tersebut kemudian di jawab oleh Tuhan Yesus; “Pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu….” (Mat. 28:19-20).

Berdasarkan kesaksian Alkitab, Allah Bapa di dalam Yesus Kristus yang merencanakan dan melaksanakan misi Allah untuk menyelamatkan manusia, dunia, dan segenap isinya. Gereja Tuhan menjadi penyelenggara misi Allah (missio Dei) berdasarkan panggilan dan pengutusan oleh Allah. Gereja dipanggil dan diutus untuk mewujudkan tanda-tanda kehadiran Kerajaan Allah di dalam dunia ini. Oleh sebab itu, Gereja harus terlibat dan bersedia menjadi alat Allah dan berperan aktif dalam menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah yaitu tercapainya keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan Allah tersebut.

Dalam Pemahaman Iman GPIB pada pokok tentang gereja dikatakan: “Bahwa Allah telah memanggil dan menghimpun1) dari antara bangsa-bangsa suatu umat bagi diri-Nya untuk menjadi berkat2). Panggilan Allah tersebut tidak dapat dilihat secara terpisah dari rencana penyelamatan yang sudah ditetapkan-Nya sejak sebelum dunia diciptakan.

Panggilan Allah nampak melalui keputusan-Nya memilih (Yesaya 41:8) Israel sebagai hamba Tuhan-baik secara individual maupun kolektif untuk melaksanakan maksud penyelamatan (Yesaya 42:6; 44:21), membentuk (Yesaya43:7, 44:24) Israel menjadi perjanjian dan terang bagi umat manusia (Yesaya 43:6b) menghimpunkan Israel dari timur dan barat, utara dan selatan (Yesaya 43:5,6) dan menjadi saksi-saksinya (Yesaya 43:10a), 21: 44:8b). Sekalipun dalam perjalanan sebagai hamba Tuhan Israel telah gagal melaksanakan ibadahnya (sehingga Allah menghukumnya), tetapi Allah tidak pernah gagal melaksanakan firman yang telah disampaikan utusan-utusanNya. Oleh karena itu, Allah berinisiatif untuk membaharui dan memulihkan keadaan ciptaanNya.[6]

2.           Pendeta Sebagai Pelaksana Pastoral

Istilah pastoral berasal dari kata pastor dalam Bahasa Latin atau dalam Bahasa Yunani disebut poimhn (baca= poimen) yang artinya “gembala” atau pendeta (Ef.4:11)[7]. Secara tradisional dalam kehidupan gerejawi hal ini merupakan tugas utama pendeta yang harus menjadi gembala bagi jemaat atau dombaNya. Pengistilahan ini dihubungkan dengan diri Yesus Kristus dan karyaNya sebagai “Pastor Sejati atau Gembala Yang Baik”.

Istilah pastor dalam konotasi praktisnya berarti merawat atau memelihara. Sikap pastoral harus mewarnai semua sendi pelayanan setiap orang sebagai orang-orang yang sudah dirawat dan diasuh oleh Allah secara sungguh-sungguh.  Penggembalaan atau pastoral adalah istilah struktural yang diberikan bagi tugas pastor/pendeta atau tugas gembala sebagai bagian dari Panggilan dan Pengutusannya sebagai pendeta.

Sebagai pelaksana pendampingan Pastoral, seorang pendeta (sebagai gembala) perlu menyadari bahwa seseorang atau kelompok tertentu (baca= keluarga) yang ia dampingi adalah “kawanan domba” yang dititipkan Gembala Agung[8] untuk dituntun dan diarahkan sesuai kehendakNya. Diarahkan sesuai kehendak Sang Gembala Agung, berarti memberi penekanan tegas bahwa seorang pendeta/gembala/pastor tidak pernah dibenarkan memakai standart dan motivasi pelayanan pengembalaan menurut ukuran sendiri. Standart nilai suatu kebenaran dalam pelayanan; motivasi pelayanan; mutu dan isi pelayanan harus pula terpusat pada Yesus Kristus Sang Gembala Agung. Artinya jelas, bahwa parameter apapun yang dipakai dalam tugas penggembalaan atau pendampingan pastoral itu harus pada ukuran Kristus Yesus.

Seorang pendeta yang melaksanakan pendampingan pastoral mestilah melihat, mengukur setiap persoalan kawanan gembalaannya menurut Kristus Yesus. Ukuran kebenaran dan standart nilai dimaksud adalah Firman Tuhan. Alkitab harus menjadi standart nilai setiap kegiatan pendampingan pstoral tersebut yang diejawantahkan dalam berbagai metode dan disiplin ilmu terkait. Ini berarti sang pendamping pastoral perlu mewaspadai diri terhadap upaya menjadi pihak “penentu” terhadap kasus tertentu yang terjadi dalam proses pendampingan tersebut.

Di sisi lain, agar tindakan pendampingan pastoral dapat sesuai dengan kehendak Sang Gembala Agung, maka pelayanan yang maksimal, penuh kepedulian dan rasa tanggung-jawab penuh harus mewarnai setiap kebersamaan dengan kawanan gembalaannya (baca= jemaat) yang sedang didampingi. Bisa terjadi “tindakan masa bodoh” ataupun “setengah hati” dalam diri seorang pendeta apabila ia menganggap jemaat adalah miliknya dan bukan milik Kristus Sang Gembala Agung yang “menitipkan” umatNya melalui panggilan dan pengutusan pendeta itu.

D.         KELUARGA DALAM KOMPLEKSITAS KONFLIK
1.           Pengertian Konflik
Menurut Kamus Bahasa Indonesia Istilah “konflik” berarti: Pertengkaraan atau Percekcokkan.[9] Berdasarkan Kamus Bahasa Indonesia, maka dapat diartikan bahwa terjadinya konflik dikarenakan adanya pertengkaran, perselisihan atau percekcokan seseorang dengan orang lain. Selain itu, istilah konflik dapat juga diartikan dengan  perkelahian, peperangan, perjuangan yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak, yang sering kali berujung pada kematian atau kehancuran, seperti misalnya konflik  antar suku dan agama.
Dalam perkembangan selanjutnya “konflik” bukan hanya menyangkut konfrontasi fisik (perkelahian atau peperangan), tetapi juga ketidaksepakatan atau oposisi atas berbagai macam kepentingan, ide dan lain-lain. Konflik ini berarti perbedaan persepsi mengenai kepentingan dan situasi ini sering terjadi di panggung politik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa konflik dapat terjadi dikarenakan adanya ketidakcocokan, ketidaksepahaman yang berujung pada pertengkaran, perselisihan yang bisa saja berdampak pada perkelahian dan bahkan peperangan.

2.           Terjadinya Konflik
Konflik adalah suatu kenyataan hidup yang tidak terhindarkan. Konflik memang merupakan bagian dari keberadaan kita, dari tingkat antar pribadi hingga antar kelompok, organisasi (lembaga) dan semua bentuk hubungan manusia tidak terkecuali dalam kehidupan berjemaat atau bergereja. Konflik mengatasi ruang dan waktu, dimana ada kehidupan disitu ada konflik. Konflik akan berhenti ketika kehidupan ini juga berhenti. Keliru sekali jika kita berharap pindah ke suatu tempat yang lain, hanya  untuk menghindari konflik. Pada hal di tempat yang lain, konflik sudah menunggu  kehadiran kita.
Konflik terjadi karena ketidakseimbangan antara hubungan manusia baik secara pribadi maupun kelompok, misalnya kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang terhadap sumber daya serta kekuasaan yang tidak seimbang – yang kemudian menimbulkan masalah-masalah seperti diskriminasi, pengangguran kemiskinan, kejahatan. Masing-masing hubungan tersebut saling berkaitan, membentuk sebuah rantai yang memiliki potensi kekuatan untuk menghadirkan perubahan baik yang konstruktif maupun yang destruktif.
Konflik tidak terjadi jika orang tidak bersosialisasi. Ketika sudah bersosialisasi pun konflik tidak terjadi jika tidak muncul perbedaan kepentingan. Ketika perbedaan kepentingan muncul pun belum akan terjadi konflik jika ada persamaan nilai untuk mengatasi perbedaan kepentingan tersebut. Dengan demikian akar konflik yang terdalam adalah perbedaan nilai. Nilai adalah gambaran abstrak dalam pemikiran orang tentang “apa yang baik” yang dijadikan acuan berpikir dan pengambilan keputusan. Nilai yang telah mengendap di dalam kesadaran manusia terbentuk melalui pengalaman hidupnya, terutama pengalaman hidup di usia dini. Dari pengalamannya orang menyimpulkan apa yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan sehingga terjadilah standar nilai.

3.           Konflik Internal dalam Keluarga
Hampir setiap hari Setiap orang diperhadapkan oleh berbagai persoalan yang kadang menghadirkan konflik.  Hal tersebut terjadi oleh karena adanya atau terjadinya interaksi antara orang yang satu dengan orang yang lain. Dalam proses berinteraksi itulah, maka sering terjadi konsep pemahaman yang sepaham, namun sering pula terjadi perbedaan pendapat. Biasanya perbedaan pendapat dalam suatu komunitas sering menjadi pemicu terjadinya konflik, Seperti misalnya komutas kecil dalam keluarga. Karena yg namanya keluarga, ketika dalam proses menata kehidupan rumah tangga, pasti akan menjumpai berbagai permasalahan kecil ataupun besar, sedikit ataupun banyak. Permasalahan yg muncul ini dapat memicu perselisihan atau konflik dalam rumah tangga yg bisa jadi berujung pada pertengkaran, kemarahan yang bisa saja berdampak keributan yang tiada bertepi atau berakhir dengan damai, saling mengerti dan saling memaafkan. Biasanya konflik dalam rumah tangga diakibatkan oleh beberapa faktor, antara lain:


  1. Ketidakjujuran Menimbulkan Ketidakpercayaan
Ketika suatu rumah tangga yang dibangun bersama dimulai dengan ketidakjujuran, maka disanalah awal malapetaka terjadi. Dampak ketidakjujuran mengakibatkan timbulnya  kecurigaan-kecurigan yang sering kali berlebihan, baik oleh suami maupun oleh istri. Setiap gerak-gerik mulai ditafsirkan dengan berbagai pandangan. Kalau sudah seperti itu, maka sering kali kedekatan  dengan teman atau rekan kerja, biasanya mejadi pemicu pertengkaran yang kalau tidak cepat diatasi, maka bisa saja merujuk pada keretakan rumah tangga bahkan perceraian.


  1. Perselingkuhan
Pemicu konflik dalam rumah tangga biasanya terjadi karena adanya pihak ketiga, yang ikut mengisi kehidupan pribadi, entah suami atau istri yang dikenal dengan istilah perselingkuhan. Perselingkuhan biasanya terjadi karena sering berjumpa, mengirim dan membalas sms dengan lawan jenis (teman akrap), mencurahkan isi hati masing-masing tentang kehidupan pribadi, bahkan situasi atau keadaan rumah tangga yang mungkin pada saat itu tidak stabil. Karena sering membangi perhatian yang berlebihan itulah, mengakibatkan terjadinya pertemuan-pertemuan terselubung  sehingga perselingkuhan pun terjadi. Konflik akan muncul, apabila yang terlibat dalam perselingkuhan tersebut ketahuan.


  1. Ekonomi yang tidak stabil
Faktor ekonomi yang tidak stabil biasanya juga menjadi pemicu terjadinya konflik di dalam keluarga. Ketika suami/ sang ayah sebagai kepala rumah tangga mengalami situasi krisis akibat di PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), sedangkan anggota keluarga tidak siap menghadapi situasi tersebut. Dipihak lain, kebutuhan hidup yang melambung tinggi dan kebutuhan pendidikan anak akhirnya menjadi promblem yang tidak dapat dihindari. Atau pada persoalan yang lain, dimana keluarga/ istri menginginkan kehidupan yang mewah, seperti yang dilihat pada  tetangga sebelah rumahnya, sedangkan pendapatan suami tidak memadai untuk memenuhi permintaan sang istri. Akibat dari masalah ini, terjadilah pertengkaran suami istri yang bisa saja berakibat fatal, dalam kelangsungan kehidupan rumah tangga.

4.           Konflik Eksternal dalam Keluarga
Sebenarnya konflik Eksternal muncul akibat dari konflik internal dan atau sebaliknya (karena ada konflik Eksteral, kondisi rumah tanggapun mengalami konflik internal) yang tidak dapat diatasi. Konflik dalam pekerjaan misalnya yang tidak diselesaikan dapat menimbulkan berbagai masalah dalam bidang lain kehidupan kita. Saya melewati periode kacau akibat perseteruan dengan bos yang tidak peka. Kemudian, saya menemukan adanya efek negatif terhadap istri dan anak-anak saya. Di rumah, saya tidak "hidup", saya cenderung banyak berpikir, dan -- seperti yang mereka katakan kepada saya sekarang -- saya "tidak terlalu senang ditemani".
Ketika rasa frustasi yang berat membayangi kita, kualitas pekerjaan kita dan keakraban hubungan kita dengan orang lain akan terpengaruh. Kesehatan kita -- secara fisik maupun emosional -- juga dapat terganggu. Mungkin kita akan berhenti berolahraga atau menarik diri dari teman-teman dan gereja pada saat kita merasa semakin frustasi atau tertimpa kesedihan.
Contoh lain mengenai konflik Eksternal. Lukas mempunyai masalah dalam hubungan dengan rekan sekerja dan bosnya. Saya harus menentukan apakah memang mereka yang salah atau apakah Luke memiliki kelemahan tak disadari yang turut memicu masalah. Kami menemukan kesalahan pada kedua pihak. Luke memiliki beberapa kebiasaan yang sangat menjengkelkan, dan bosnya perlu "pencangkokan kepribadian"! Konflik berkepanjangan dengan orang lain merupakan sumber utama konflik eksternal.
Efeknya konflik internalpun dialami oleh Lukas. Ia tidak sanggup memutuskan meninggalkan pekerjaannya. Jadi, ia tetap mendua hati, berada di antara dua pilihan: rasa aman (disertai kebosanan) dan risiko (disertai kegairahan). Kondisi ini merupakan sumber konflik yang sangat besar, dan sikapnya terus memburuk selama beberapa tahun ini. Luke telah membuat komitmen untuk mengikuti Kristus dan hidup sebagai orang Kristen sejak kecil, namun secara perlahan ia menjadi orang Kristen "Minggu-an". Ia merasa terpisah dari Allah karena ia juga semakin dalam terlibat perselingkuhan dengan seorang rekan kerjanya yang sudah menikah, dan ini menambah kekacauan yang sudah ada sebab keluarganya memanen berbagai konflik.

5.           Memandang Keluarga sebagai Ekklesia (gereja)
Banyak orang mendefinisikan gereja sebagai tempat ibadah atau gedung peribadahan umat Kristen. Jika gereja didefinisikan demikian maka arti dari gereja memberi kesan hanyalah suatu benda mati yang statis dan tidak melakukan apa-apa karena Gereja hanyalah sebuah gedung buatan manusia yang tidak memiliki nilai kehidupan di dalamnya.
Secara harfiah istilah gereja atau jemaat berasal dari bahasa Yunani ekklhsia [10] (baca= ekklesia) dari dua suku kata ek = keluar dari; dan kalev = memanggil. Dengan demikian, ekklesia berarti orang yang dipanggil keluar. Secara alkitabiah kita dapat merujuknya dalam 1 Petrus 2:9 yaitu: “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib”. Berdasarkan Nats di atas, maka definisi gereja adalah: orang-orang yang dipanggil Allah dari kegelapan dosa dunia menuju pada terang keselamatan Ilahi. Dengan demikian gereja bukanlah gedungnya, melainkan kumpulan orang percaya yang adalah jemaat Tuhan.
Oleh karena ekklesia berarti kumpulan orang (lebih dari satu) yang dipanggil keluar dari kegelapan menuju terang seperti disebutkan di atas, atau ekklesia berarti jemaat maka dapatlah dengan tegas disimpulkan bahwa Keluarga orang percaya juga merupakan ekklesia “kecil” dalam lingkup rumah tangga. Maka ketika pendeta melakukan Pendampingan Pastoral pada suatu keluarga tertentu dalam jemaat, ia tidak hanya melakukan pendampingan pastoral pada keluarga biasa, namun pendampingan itu dilakukan pada ekklesia (baca= umat) Allah yakni keluarga yang adalah gereja terkecil.
Ini berarti kualitas pelayanan yang ia berikan kepada suatu keluarga tertentu tersebut haruslah sebanding dengan kualitas pelayanan pada umumnya ketika pelayanan rutin ia kerjakan sebagai seorang pendeta/gembala/pastor. Mengangap suatu keluarga adalah juga ekklesia Allah akan membantu pendeta atau sang pelaksana pendampingan pastoral untuk memberlakukan keluarga yang sedang dalam kesulitan itu sebagai domba yang membutuhkan pembimbingan sebagaimana tugas pendeta dalam jemaat. Sehingga pendekatan-pendekatan tertentu yang dipakai akan lebih daripada sekedar relasi sosiologi; status sosial dll melainkan relasi fungsional seorang gembala yang melayani ekklesia Allah.
Kasus “Lukas” di atas sebagai contoh misalnya. Dengan memandang Lukas dan keluarganya sebagai Ekklesia Allah dan kawanan domba, maka seorang Pendeta atau Pastor ketika memasuki wilayah konfik tersebut tidak akan menganggap dirinya sebagai sebagai “hakim” yang akan memberikan “penghakiman” soal benar salah, atau tidak sebagai “algojo” yang memberikan hukuman dan deraan, namun sebaliknya justru tampil sebagai seorang pelayan yang melayani dan seorang gembala yang mengayomi sehingga keluarga dapat terdampingi sebagai kawanan domba Allah tempat di mana Sang Pendeta itu dipanggil dan diutus olehNya. Tanpa keinginan untuk menempatkan diri sebagai pelayan yang melayani dan gembala yang mengayomi serta keluarga tersebut tidak dilihat sebagai ekklesia Allah, maka pendampingan Pastoral tidak mungkin berjalan maksimal.
Sehubungan dengan keluarga adalah ekklesia Allah, seorang pendeta-pun haruspula membangun hidup rumah tangganya sendiri dalam pemahaman ekklesia Allah. Keluarga pendeta dan kehidupannya adalah figur “percontohan” tentang “mereka yang telah dipanggil keluar dari kegelapan menuju terangNya yang ajaib” itu atau ekklesia Allah tadi. Artinya adalah suatu “batu sandungan” bagi jemaat ketika sang gembala mengupayakan arah keluarga-keluarga jemaat melesat menuju “terang Allah” yang ajaib itu, namun justru keluarganya sendiri masih berada dalam panggung “kegelapan” tersebut. Pelayanan penggembalaan seorang pendeta dimulai dalam keluarganya sendiri dan kemudian barulah melintas batas ke wilayah-wilayah konflik ekklesia Allah yang lain yakni keluarga-keluarga jemaat. 

E.          MENENTUKAN FUNGSI PASTORAL DALAM KONFLIK INTERNAL KELUARGA
Dalam rangka menjadi seorang konselor/pendamping dalam konflik internal keluarga di dalam jemaat, maka penggabungan Fungsi Pastoral sebagai Pendampingan dan Pendamaian sangatlah disarankan sebagai metode pendampingan pastoral. Sebelum sampai pada penerapan fungsi pastoral tersebut, seorang pendeta minimal perlu melewati dua tahap pertama secara umum, yakni  mengenal keluarga yang akan didampingi dan selanjutnya memetakan masalah dari hasil pengenalan tersebut. Dua tahap dimaksud akan diuraikan di bawah ini.

1.           Mengenal Keluarga yang Akan Didampingi
Seperti seorang pengacara yang hendak mendampingi untuk menangani dan menyelesaikan persoalan yang dihadapi kliennya, maka ia terlebih dahulu harus mengenal si klien dengan sangat baik, sehingga persoalan yang dihadapi kliennya dapat teratasi. Begitu juga dengan seorang pendeta yang akan menjadi pendamping seperti contoh  keluarga Lukas yang sedang diperhadapkan pada situasi konflik.  
Seorang pendeta yang akan tampil sebagai konselor, harus mengetahui kehidupan keluarga yang akan dibimbingnya, dimana dia bekerja, siapa-siapa saja yang tinggal di dalam rumah, lingkungan tempat tinggal seperti apa, bagaimana karakter masing-masing yang sedang menghadapi konflik. Informasi-informasi tersebut paling tidak harus diperoleh oleh seorang pendeta dari beberapa sumber, misalnya dari majelis jemaat atau mungkin warga jemaat yang kebetulan berada dilingkungan tempat tinggal yang sama dan atau berada diwilayah/ sektor pelayanan dimana yang bersangkutan mengambil bagian didalamnya, atau mungkin dari yang bersangkutan sendiri. Karena itu, untuk menindaklanjuti proses pendampingan, maka ada beberapa langkah yang harus dilakukan oleh seorang pendeta, antara lain:

a.        Kunjugan Rumah Tangga
Pada umumnya setiap keluarga yang aktif dan produktif sangat sulit dijumpai pada waktu pagi, siang bahkan kadang malam. Apalagi kalau suami dan istri mempunyai tingkat kesibukan  yang tidak jauh berbeda di kantor yang mungkin jarak tempunya sedang atau mungkin dan disertai kemacetan di jalan, seperti misalnya di kota Jakarta, maka peluang untuk berjumpa pada malam hari terkadang sangat sulit. Tetapi tidak semuanya situasi seperti itu dihadapi, karena di tempat yang lain, tingkat kesibukan sering bervariasi. Hal itu berarti, bahwa gembala harus menyelidiki dulu keadaan jemaat untuk mencari tahu, kapan anggota jemaat ada di rumahnya, dan dimana bisa bertemu dengan mereka. Ada yang sebaiknya dikunjungi pada waktu pagi, ada yang lebih baik dikunjungi pada waktu sore atau malam. Dalam tiap-tiap jemaat keadaan berbeda satu dengan yang lain[11]. Tindakan tersebut haruslah dilakukan sehingga proses perkunjungan dapat terlaksana.

b.       Percakapan Pastoral
Percakapan ialah terjadinya komunikasi/ dialog antara orang yang satu dengan orang yang lain, ketika berjumpa atau bertemu. Misalnya seorang pedagang dan pembeli akan membuka perkapan melalui proses jual beli dan tawar menawar. atau seorang teman berjumpa dengan teman yang lain, maka sudah pasti akan terjadi dialog atau percakapan di antara mereka. Biasanya bentuk percakapan seperti ini, disebut percakan biasa, dangkal dan ringan. Berbeda dengan percakapan atau dialog yang sifatnya ilmiah, maka bobot  atau kwalitas  percakapan tersebut akan menjadi dominan.
Bagaimana dengan percakapan pastoral? Percakapan pastoral ialah ketika terjadinya perjumpaan dan percakapan antara pendeta sebagai konselor dengan orang lain (baca=jemaat) yang inti percakapannya bersifat persoalan yang dicarikan jalan keluarnya. Hal ini yang membedakan percakapan pastoral dengan percakapan-percakapan yang lain. Dalam percakapan pastoral, pastor sebagai utusan bukanlah satu-satunya yang mengadakan percakapan dengan anggota jemaat. Ada orang ketiga yang turut mengambil bagian dalam percakapan dan pelayanan itu, yakni Yesus Kristus Gembala yang Agung. Malahan Dialah yang memainkan peranan yang paling penting di situ. Karena itu, dalam pelayanan pastoral suaraNya, firmanNya harus turut didengarkan[12].
Sehubungan dengan itu, orang lebih suka merumuskan percakapan pastoral sebagai pelayanan yang ditugaskan oleh gereja dan melalui gereja oleh Pastor Agung; Yesus Kristus. Pastor yang menjalankan pelayanan itu tidak melakukannya atas nama dan berdasarkan kewibawaannya sendiri, tetapi atas nama dan berdasarkan kewibawaan Yesus Kristus. Ia melakukannya sebagai utusan dan pelayan-Nya[13].
Di dalam percakapan awal inilah seorang pendeta akan lebih banyak mengenal keluarga jemaat yang ia kunjungi termasuk-pun beberapa pergumulan/persoalan rumah tangga yang dihadapi oleh keluarga tersebut.

c.        Raport atau Nilai Kepercayaan
Raport adalah istilah pengembalaan yang menunjuk pada nilai kepercayaan. Apabila seorang pendeta atau konselor telah mendapatkan raport atau kepercayaan, akan memudahkan ia sebagai konselor dan orang lain sebagai konseli untuk saling membuka diri. Keterbukaan seorang konseli terhadap konselor dalam proses konseling tersebut hanya mungkin terjadi jika si konseli “percaya” kepada konselornya. Hal ini berarti seorang konselor, dalam hal ini pendeta misalnya, haruslah “orang yang tepat” yang memilki kemampuan dan kualitas sebagai seorang konselor. Bukan hanya kemampuan bicara saja atau ketrampilan tertentu, seorang konselor dituntut memiliki suatu kepribadian khusus.

Alistair V.Campbell, teolog dari Inggris, menuliskan bahwa pelayanan pastoral bukan sekedar melaksanakan pekerjaan-pekerjaan baik dengan tehnik-tehnik yang canggih. Pendampingan pastoral menuntut para pendamping menjadi orang yang berkepribadian khusus, bukan sekedar orang yang dilatih sangat profesional (yang penting bukan apa yang dilakukan, tetapi orangnya) [14].  Hal ini memberikan penekanan tentang betapa pentingnya kualitas seorang konselor untuk dapat memperoleh raport dari konselinya untuk kemudian berhasil sebagai konselor. Kepribadian khusus yang dimaksud di ataspun jika ditelaah lebih jauh cendrung abstrak dan sulit untuk menemukan parameter tetap yang ideal. Namun menurut penulis, standart yang paling jelas adalah standart kitab suci tentang karakter seorang pelayan.
Sehubungan dengan karakter pelayan dalam jemaat, Paulus telah memberikan beberapa rambu yang cukup jelas dalam 1Tim.3:1-13. Pada bagian alkitab tersebut ada beberapa syarat yang diajukannya ketika seseorang menjabat sebagai penilik jemaat dan diaken dalam jemaat (baca= pelayan), yakni:

NO
PENILIK JEMAAT

NO
DIAKEN DALAM JEMAAT
1
Seorang yang tak becacat
1
Orang terhormat (dihormati orang)
2
Suami dari satu istri
2
Jangan bercabang lidang
3
Dapat menahan diri
3
Jangan penggemar anggur
4
Bijaksana
4
Jangan serakah
5
Sopan
5
Memelihara rahasia iman
6
Suka memberi tumpangan
6
Lolos uji
8
Cakap mengajar orang
8
Tidak bercacat dalam pelayanan
9
Bukan peminum
9
Jangan pemfitnah
10
Bukan pemarah melainkan peramah, dst
10
Istrinya adl orang terhormat, dst

Dari gambaran alkitabiah di atas, maka seorang pendamping pastoral disebut memiliki kepribadian khusus dalam standart kualitas khusus adalah mereka memiliki kemapuan spiritual, religiusitas yang baik dan terejah dalam prilaku hidup sehingga dapat dipercaya oleh orang lain. Dengan karakter seperti ini, kiranya kemudian akan membantu si konsili memberikan raport (nilai kepercayaan tadi) kepada sang konselor yang melaksanakan tindakan pendampingan pastoral tersebut. Namun kepribadian tersebut harus pula dibarengi dengan kesediaan konselor “LEBIH DULU” membuka diri di hadapan konselinya dengan maksud meminimalisir “jurang” yang ada sehinga si konseli-pun tergerak untuk membuka dirinya. Keterbukaan konsili inilah yang kemudian menjadi gerbang besar hadirnya nilai kepercayaan tadi.


2.          Menjadi Pendamping dalam Menghadapi Konflik
Telah disebutkan di atas bahwa Fungsi Pastoral sebagai Pendampingan / pembimbingan (Guilding), merupakan panduan untuk menunjukkan jalan yang benar bagi seseorang sampai ia dapat mengambil suatu keputusan. Orang yang didampingi, ditolong untuk memilih/ mengambil keputusan tentang apa yang akan ditempuh atau apa yang menjadi masa depannya. Untuk lebih jelasnya kita sebaiknya mengambil contok kasus “Keluarga Lukas” tadi, yakni:
Lukas mempunyai masalah dalam hubungan dengan rekan sekerja dan bosnya. Saya harus menentukan apakah memang mereka yang salah atau apakah Lukas memiliki kelemahan tak disadari yang turut memicu masalah. Kami menemukan kesalahan pada kedua pihak. Lukas memiliki beberapa kebiasaan yang sangat menjengkelkan, dan bosnya perlu "pencangkokan kepribadian"! Konflik berkepanjangan dengan orang lain merupakan sumber utama konflik eksternal. Efeknya konflik internal dalam keluargapun dialami oleh Lukas. Ia tidak sanggup memutuskan meninggalkan pekerjaannya. Jadi, ia tetap mendua hati, berada di antara dua pilihan: rasa aman (disertai kebosanan) dan risiko (disertai kegairahan). Kondisi ini merupakan sumber konflik yang sangat besar, dan sikapnya terus memburuk selama beberapa tahun ini. Luke telah membuat komitmen untuk mengikuti Kristus dan hidup sebagai orang Kristen sejak kecil, namun secara perlahan ia menjadi orang Kristen "Minggu-an". Ia merasa terpisah dari Allah karena ia juga semakin dalam terlibat perselingkuhan dengan seorang rekan kerjanya yang sudah menikah, dan ini menambah kekacauan yang sudah ada sebab keluarganya memanen berbagai konflik.

Marilah memperhatikan kasus ini dengan seksama. Bahwa dalam setiap konflik selalu ada korban. Siapakah korban tersebut, jawabnya semua pihak yang terlibat konflik baik langsung maupun tidak langsung. Jika di telaah kasus ini maka beberapa “korban” konflik antara lain: Lukas sendiri (pekerjaan; ketenangan bantin; dosa perzinahan); Atasan dan teman sekator Lukas (kondusifitas pekerjaan terganggu dengan sikap Lukas, ketenangan batin); Istri Lukas (keharmonisan keluarga; dilecehkan sebagai istri; korban perzinahan; luka batin); Anak-anak Lukas (keharmonisan rumah tangga; haus kasihsayang dari figur ayah; tekanan psikologis akibat pertengkaran orang tua); dan pihak lain misalnya mertua-orang tua ataupun tetangga.
Apabila sang pendeta telah mengetahui kasus ini, apakah melalui orang lain yang tidak terlibat konflik ataupun langsung dari si “korban” konflik (Istri Lukas misalnya), maka tindakan cepat tanpa ulur waktu haruslah segera dilakukan oleh pendeta. Sang Pendeta secepat mungkin mulai merencanakan kunjungan khusus dan menyiapkan diri melakukan pendampingan pastoral terhadap keluarga itu secara menyeluruh sebagai anggota jemaat. Pendampingan Pastoral akan lebih mudah terlaksana apabila salah satu “korban” yang secara terbuka menyampaikan persoalan ini kepada pendetanya. Jika kondisi ini terjadi, sang konselor yang akan melakukan pendampingan akan amat mudah memperoleh kepercayaan.
Pada saat inilah Fungsi Pastoral sebagai Pendampingan / pembimbingan (Guilding) mulai dilaksanakan. Kesediaan sang konselor yang mendampingi mencurahkan waktu dan hati dalam persoalan konflik ini menjadi salah satu faktor penentu keberhasilannya untuk mendampingi keluarga yang menghadapi konflik rumah tangga. Dalam hal ini kunjungan ke rumah adalah pilihan tepat sebagai lokasi percakapan dan bukan di kantor gereja dan tempat lainnya yang rawan terhadap tidak terjaminnya privasi seseorang. Sangat dianjurkan bahwa kunjungan tersebut dilakukan lebih dari sekali sebagai “sinyal” bagi keluarga bahwa pendetanya yang sedang melaksanakan pendampingan pastoral menanggapi dengan serius dan menempatkan pergumulan mereka sebagai prioritas utama dari agenda pelayanannya.
Fungsi dan peran pastoral sebagai Pendampingan / pembimbingan (Guilding) ini bertujuan untuk mendampingi korban (dalam hal ini istri Lukas misalnya) untuk tidak membuat keputusan yang keliru sebagai pilihan solusi akhir. Solusi yang keliru misalnya: dalam keadaan frustasi terhadap tingkah suaminya (Lukas-red), sang istri kemudian berpikir untuk meninggalkan rumah, atau memilih perceraian sebagai keputusan mutlak dan atau lebih fatal lagi, bunuh diri! Hal utama yang mesti dilakukan oleh seorang pendeta ketika melakukan pendampingan pastoral dalam hal fungsi Pendampingan / pembimbingan (Guilding) ini adalah memberi telinga untuk mendengar. Hal ini penting sebagai fungsi pendampingan dalam hal meringankan tekanan emosional istri Lukas lewat membukan saluran komunikasi untuk membagi tekanan tersebut dengan cara mengungkapkan isi hati.
Apabila tahap mendengarkan sudah dianggap cukup[15], maka saatnya pagi konselor untuk memberikan pembimbingan lewat kalimat-kalimat yang bijak dan menguatkan. Dalam hal ini dibutuhkan keahlian untuk menyeleksi setiap istilah untuk membentuk suatu kalimat yang meyakinkan konseli (istri dari Lukas) bahwa pendetanya amat mengerti dan TURUT MERASAKAN pergumulan dan tekanan persoalan yang dihadapinya. Artinya seorang pendeta yang melakukan pendampingan pastoral harus mampu untuk bukan sekedar simpati namun juga mampu berempati atau BERBELA-RASA. Hindari kalimat yang “menyalahkan” dan menyudutkan si konseli sekalipun kalimat dan ucapannya terkesan “ngawur” dan tidak sesuai dengan ajaran TUHAN. Kalaupun pernyataannya keliru, bantahlah dengan kalimat positif seperti: “saya mengerti… namun mungkin ada cara lain…” atau juga berupa kalimat dukungan yang sebenarnya mematahkan solusi keliru si konseli, misalnya: “itu benar, sebab wanita mana yang bersedia dikhianati… namun saya percaya bahwa ibu memiliki nilai lebih dari wanita pada umumnya… karena TUHAN ada dipihak orang yang remuk hatinya…”. Secara tidak langsung, kalimat-kalimat seperti ini adalah pengejawantahan dari fungsi pastoral sebagai Pendampingan/pembimbingan (Guilding) yang pada akhirnya dalam berbagai percakapan selanjutnya akan membawa kesadaran positif bagi Istri pak Lukas bahwa masih ada jalan lain selain perceraian ataupun bunuh diri. Dalam hal ini solusi yang ia pikirkan telah di re-solusi dalam proses pendampingan tersebut.
Menemukan bahwa “masih ada jalan lain” menghadapi konfik dalam keluarganya, akan membuat si konseli memberi diri untuk lebih terbuka mencari tahu cara menempuh alternatif lain dari solusi keliru yang telah ditetapkannya. Dengan pembimbingan dan pendampingan yang efektif serta kualitas pertemuan yang maksimal, maka sang pendeta sebagai konselor akan berhasil mengantar si konseli untuk menyimpulkan bahwa perceraian dan bunuh diri itu adalah KEKEJIAN BAGI TUHAN yang mendatangkan dosa. Akhirnya ia-pun menemukan re-solusi baru terhadap konflik tersebut, yakni mengupayakan PERDAMAIAN demi keluarga dan juga keselamatan jiwa suaminya. Sekali lagi HAL INI tidaklah mudah namun butuh proses yang tidak bisa ditentukan oleh waktu. Dalam hal ini sang konselor harus memiliki tingkat kesabaran ekstra dan kemampun untuk tidak mudah menyerah. Ingatlah bahwa pekerjaan yang sedang dilakukannya adalah pekerjaan TUHAN untuk memulihkan hubungan rumah-tangga yang telah dipersatukanNya.

3.          Menjadi Pendamaian antar kedua pihak yang terlibat Konflik
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa Fungsi dari Pastoral ini adalah berupaya membangun ulang relasi manusia dengan sesamanya, dan antara manusia dengan Allah. Secara tradisi sejarah, pendamaian menggunakan dua bentuk yaitu pengampunan dan disiplin, tentunya dengan didahului oleh pengakuan. 
Jika saya dan anda mengalami situasi yang sangat berat, tidak mau mengakui kelemahan dan cenderung menutup diri. Pendamaian berfungsi menuntun mereka kembali untuk menemukan arti kediriannya diantara relasi dengan manusia lain dan dengan Tuhan. Supaya mereka kembali berfungsi sebagaimana manusia pada umumnya.
Khusus pada kasus pak Lukas, “target” pendampingan pastoral yang harus dilakukan oleh seorang pendeta terhadap Pak Lukas sebagai pribadi adalah menyadarkannya bahwa cara hidup yang ia lalui yakni perselingkuhan adalah dosa. Pendeta dalam pendampingan pastoral untuk fungsi pendamaian ini memfokuskan kemampuannya sebagai konselor untuk mengajak pak Lukas menikmati kembali suasana perdamaian dengan Allah dan keluarganya serta lingkungan tempat ia bekerja. Langkah penting yang harus diambil oleh seorang pendeta adalah MENCARI dan MENEMUKAN pak Lukas agar kembali ke jalan yang dibenarkanNya.
Artinya, konselor-lah yang harus lebih pro-aktif menemui konseli. Prinsip yang diambil dalam kondisi seperti ini adalah “Dosa Harus ditelanjangi, namun orangnya jangan dipermalukan”. Perhatikanlah kisah dalam Yohanes 8:1-11, bahwa Yesus membenci tindakan dosa perzinahan yang dilakukan oleh perempuan itu, namun ia mengasihi pelaku dosa tersebut. Inti dari setiap percakapan yang dilakukan oleh pendeta terhadap Pak Lukas harus bermuara pada kesadaran: “aku (pak Lukas) telah berdosa kepada Tuhan”. Sebab tanpa kesadaran itu, si konseli akan tetap merasa benar. Tanpa kesdaran itu, si konseli tidak mungkin memohon pengampunan dari Allah agar ia beroleh pendamaian dariNya melalui kasih karunia. Tanpa kesadaran itupula si konseli tidak akan pernah untuk membaharui hubungannya dengan keluarga dan istrinya agar tercapai pendamaian dan keutuhan rumah tangga.
Target ini tidaklah mudah. Sebab pada hakekatnya semua manusia memiliki “sifat unik” yakni sulit mengaku salah. Sifat unik ini sudah ada sejak peristiwa Taman Eden. Kecendrungan untuk merasa diri benar lewat melimpahkan kesalahan pada orang lain adalah kenyataan yang selalu hadir dalam kehidupan manusia ketika ia harus diminta pertanggung-jawabannya.
Hal inipula yang akan dihadapi oleh pendeta sebagai konselor dalam kasus pak Lukas. Bagaimana mengatasinya? Metode khusus-pun tidak ada dalam teori ini, namun pendekatan yang dilakukan seperti pada Istri Pak Lukas di atas dapat pula diterapkan. Sebagai seorang Konselor, pendeta akan menemui banyak kesulitan terhadaap kondisi-kondisi seperti ini dalam hal mengantar seseorang pada suatu pengakuan dosa untuk kemudian menerima pendamaian. Namun inilah yang menarik. Wibawa Rasuli yang dimiliki oleh seorang pendeta adalah “alat” yang disediakan Tuhan untuk membuat seseorang, melalui pelayanan hambaNya BERTEKUK LUTUT pada Sang Pemilik Hidup. Dengan kata lain, penyertaan Tuhan dan kuasaNya amatlah menjadi prioritas utama untuk diandalkan oleh seorang konselor menghadapi kebebalan hati si konseli-nya.
Pelayanan pendamaian ini sungguh suatu anugerah bagi setiap hamba-Nya. Karena itu sikap “rendah hati” tanpa niat “menuding jari” bagi yang telah berbuat dosa adalah sikap terpuji untuk kemudian si konseli dianugerahi pengampunan dari Allah alias mengalami pendamaian dengan Tuhan. Jika Pak Lukas berhasil terlayani dalam pelayanan pendamaian tersebut, yakni ia telah didamaikan oleh Allah dan menerima pengampunannya, maka akan menjadi lebih mudah untuk kemudian mendamaikan Pak Lukas dengan keluarganya termasuk istri dan anak-anaknya.     




[1] Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar dan Konseling Pastoral. (Yogyakarta: Kanisius, 2002) hlm. 53-54

[2] Psikosomatis adalah istilah medis yang diambil dari dua suku kata: Psiko=pikiran; dan Soma=tubuh. Psikosomatis adalah penyakit yang timbul atau disebabkan oleh kondisi mental atau emosi seseorang yang berdampak pada fisiknya. Secara sederhana psikosomatis berarti penyakit fisik (gangguan fisik) yang disebabkan oleh pikiran atau emosi tertentunseperti stress, kecewa, rasa bersalah, cemas dll.

[3] Aart Van Beek, Pendampingan Pastoral. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007) hlm. 14
[4] O.E.Ch Wuwungan, Bina Warga: Bunga Rampai Pembinaan Warga Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, Cetakan-2, 19950 hlm. 63.

[5] Ibid, hlm. 64

[6] Materi III kepejabatan: Panggilan, tugas dan tanggungjawab sebagai Pemimpin Gereja yang melayani. Materi bina Calon Penatua & Diaken GPIB 2007-2012

[7] Barclay M. Newman Jr., Kamus Yunani-Indonesia. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004) hlm.136

[8] Sebutan “Gembala Agung” dalam 1 Petrus 5:4 untuk Tuhan Yesus memang sebuah gelar kebesaran dan kemuliaan, tetapi seperti yang tersirat dalam ayat itu, harganya bukan kepalang..., yaitu kematian!  Lih: B.A. Abednego, “Tantangan dan Kesempatan dalam tugas Pengembalaan Gereja di Indonesia Mengantisipasi Abad Ke-21” dalam: Ferdinan Suleeman dkk., Bergumul Dalam Pengharapan – Buku Penghargaan untuk Pdt. Dr. Eka Darmaputera, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004) hlm. 72-73.
[9] Kamus Umum Bahasa Indonesia, Penyusun W.J.S. Poerwadarminta, Cetakan ke 14, 1995.

[10]  ekklesia sendiri berarti Sidang; Jemaat; kumpulan. Lih: Barclay M. Newman Jr., Ibid. hlm. 51.
[11] M.Bons-Storm. Apakah Pengembalaan Itu?(Jakarta:BPK Gunung Mulia, Cetakan ke-14. 2008) hlm. 46

[12] J.L. Ch. Abineno, Pedoman Paraktis untuk Pelayanan Pastoral, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010) hlm. 88.

[13] J.L.Ch. Abineno, Percakapan Pastoral dalam Praktek, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004) hlm. 5.

[14] Alistair V.Campbell, Rediscovering Pastoral Care. 2nd edition. (London: Darton, Longman & Todd,1986), hlm.15-16.  
[15] Ukurannya memang  relatif, namun pada umumnya terlihat dari ekspresi wajah yang  mulai rileks dan atau perbendaharaan kata yang muncul dari Istri Lukas mulai berkurang kuantitasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar