PELAYANAN PERKUNJUNGAN DAN PERCAKAPAN PASTORAL
“Fungsi Pastoral Yang
Mendampingi; Dan Mendamaikan Konflik Yang Terjadi Dalam Internal Keluarga Dalam
Hubungannya Dengan Panggilan Dan Pengutusan Seorang Pendeta”
A. P E N D A H U L U A N
Konseling Pastoral merupakan bagian dari ilmu
pengetahuan khusus yang harus dikuasai oleh seorang pendeta. Hal tersebut
sangatlah penting, karena seorang pendeta ketika berada di tengah-tengah warga
jemaat, sering berjumpa dengan berbagai persoalan-persoalan dan bahkan konflik-konflik
yang sering terjadi di dalam kehidupan mereka.
Kasus-kasus yang sering muncul di dalam kehidupan
berjemaat, lebih banyak terjadi dalam kehidupan berkeluarga yang mengakibatkan
terjadinya ketidakharmonisan, seperti; perselingkuhan, ketidakjujuran, keadaan
ekonomi yang tidak stabil , pergaulan bebas, keterlibatan keluarga dalam
masalah hukum, seperti kecanduan narkoba, melakukan tindakan kriminal dan lain
sebagainya. Jika dibiarkan/ diabaikan, maka hal tersebut bisa saja berdampak
kepada keretakan, perceraian dan bahkan berdampak pada hancurnya masa depan
keluarga.
Dalam kasus-kasus lain yang sering terjadi dalam
kehidupan berjemaat, adanya gesekan-gesekan, benturan-benturan, ketidakcocokan
antara anggota jemaat yang satu dengan anggota jemaat yang lain karena
perbedaan pemahan yang mengakibatkan terjadinya konflik. Dampaknya mulai jarang
mengikuti kegiatan bergereja, bahkan yang lebih parah sampai pindah ke gereja
yang lain.
Dalam kondisi-kondisi seperti itulah, maka setiap
warga jemaat yang sedang mengalami situasi tersebut, akan memerlukan proses
pendampingan untuk dapat memecahkan dan bahkan menyelesaikan
pergumulan/persoalan yang mereka hadapi. Biasanya warga jemaat yang sedang
menghadapi masalah membutuhkan peran gereja, dalam hal ini pendeta, untuk
melakukan pendampingan sekaligus dilibatkan, agar mereka dapat menyelesaikan
konflik tersebut.
Konteks seperti itulah, yang mendorong saya untuk
kembali belajar lebih dalam lagi mengenai bidang pastoral pada Pasca Sarjana
(S2) di STT INTIM Makassar, dengan harapan bahwa ilmu yang akan saya peroleh
nantinya akan menunjang saya, dalam membantu mendampingi berbagai
persoalan-persoalan atau konflik-konflik yang terjadi ditengah-tengah warga
jemaat yang nantinya akan mendapatkan jalan penyelesaian.
Berkenaan dengan tugas paper yang diberikan kepada
saya sebagai persyaratan kelulusan mengambil Pasca Sarjana (S2), maka saya
mencoba mengangkat satu masalah yang menjadi judul paper ini sebagai berikut :
PERAN KONSELOR PADA KONFLIK INTERNAL KELUARGA
B.
MEMAHAMI FUNGSI PASTORAL
Yang dimaksud
dengan fungsi adalah kegunaan atau manfaat yang dapat diperoleh dari pekerjaan
pendampingan tersebut. Dengan demikian, fungsi pendampingan merupakan
tujuan-tujuan operasional yang hendak dicapai dalam memberikan pertolongan kepada
orang lain. Menurut William A. Clebsch dan Charles
R. Jaekle di dalam bukunya yang berjudul Pastoral Care in Historical
Perspective, terdapat 4 Fungsi Pelayanan Pastoral[1] , yakni:
1.
Pastoral sebagai Penyembuhan (Healing)
Fungsi
pastoral yang bertujuan untuk mengatasi beberapa kerusakan dengan cara
mengembalikan orang itu pada suatu keutuhan dan menuntun dia ke arah yang lebih
baik daripada kondisi sebelumnya. Setiap orang yang mengalami penderitaan tidak
dapat menerima apa yang terjadi terutama perubahan dari fungsi hidupnya. Luka
batin, kerusakan tubuh seringkali tidak memampukan seseorang menerima
keadaannya dengan baik, mereka merasa tidak berguna dengan keadaan yang
dialami.Fungsi penyembuhan menyakinkan kembali bahwa masih ada pengharapan baru
didalam kerusakan tubuhnya atau luka batinnya.
Fungsi
Pastoral sebagai penyembuhan ini sangatlah signifikan terutama bagi mereka yang
mengalami “luka batin” akibat kehilangan atau terbuang, yang biasanya berakibat
pada penyakit Psikosomatis[2], suatu
penyakit yang langsung atau tidak langsung disebabkan oleh tekanan mental yang
berat. Dengan Fungsi Pastoral ini, yakni kerelaan konselor untuk mendengarkan
keluhan batin seseorang yang menderita dengan penuh perhatian dan kasih, ia
akan mengalami rasa aman dan kelegaan sebagai pintu masuk ke arah penyembuhan
yang sebenarnya.[3]
2. Pastoral sebagai Penopangan
atau Pentabahan (Sustaining)
Fungsi Pastoral yang bertujuan menolong orang lain yang “terluka” untuk
bertahan dan melewati suatu keadaan yang didalamnya pemulihan kepada kondisi
semula atau penyembuhan dari penyakitnya tidak mungkin atau tipis
kemungkinannya. Penopangan dilakukan supaya orang yang
mengalami penderitaan berat tidak mudah kehilangan keyakinannya terutama kepada
Tuhan. Seseorang yang sudah tua dan mengalami penyakit menahun seringkali
menghadapi situasi yang demikian. Oleh karena itu bagi yang menderita dan
orang-orang terdekat ditopang supaya mampu mempertahankan semangat hidupnya,
agar tetap bertahan dalam pengharapannya.
Kita
diperhadapkan kepada seseorang yang tiba-tiba mengalami krisis mendalam
(kehilangan, kematian orang-orang yang dikasihi, dukacita) dan seringkali pada
saat itu kita tidak dapat berbuat banyak untuk menolong. Keadaan ini bukan
berarti kita tidak dapat melakukan sesuatu, tetapi kehadiran Seseorang (pendeta
misalnya) dalam rangka Fungsi Pastoral Sebagai penopangan adalah untuk membantu
mereka bertahan dalam situasi krisis yang bagaimanapun beratnya. Dukungan
berupa kehadiran dan sapaan yang meneduhkan dan sikap yang terbuka, akan
mengurangi penderitaan mereka walaupun hampir pasti tidak dapat mengubah
kenyataan yang sudah ada namun setidak-tidaknya orang tersebut tidak merasa
“sendiri” atau ditinggalkan.
3. Pastoral sebagai Pendampingan
/ pembimbingan (Guilding)
Fungsi Pastoral ini, berarti membantu orang-orang yang
kebingungan untuk menentukan pilihan-pilihan yang pasti diantara berbagai
pikiran dan tindakan alternatif, jika pilihan-pilihan demikian dipandang
sebagai yang mempengaruhi keadaan jiwanya sekarang dan yang akan datang. Seseorang
yang mengalami penderitaan baik kehilangan anggota tubuhnya, kehilangan
keluarganya, kehilangan harta bendanya seringkali mengalami situasi sulit untuk
menentukan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Kebanyakan seseorang yang
kehilangan tidak siap menerima perubahan yang terjadi akibatnya mereka menjadi
kehilangan arah. Fungsi pembimbingan memampukan mereka yang kehilangan agar
dapat menentukan pilihan yang paling baik untuk kelanjutan hidupnya.
Fungsi
membimbing penting dalam kegiatan menolong dan mendampingi seseorang. Fungsi
ini merupakan panduan untuk menunjukkan jalan yang benar bagi seseorang sampai
ia dapat mengambil suatu keputusan. Orang yang didampingi, ditolong untuk
memilih/ mengambil keputusan tentang apa yang akan ditempuh atau apa yang
menjadi masa depannya. Pendamping mengemukakan beberapa kemungkinan yang
bertanggung jawab dengan segala resikonya, sambil membimbing orang ke arah
pemilihan yang berguna. Pengambilan keputusan tentang masa depan ataupun
mengubah dan memperbaiki tingkah laku tertentu atau kebiasaan tertentu, tetap
di tangan orang yang didampingi (penderita). Jangan sampai pendamping yang
mewajibkan untuk memilih. Lebih bertanggung jawab apabila orang yang didampingi
diberi kepercayaan untuk mengemukakan persoalannya bila sangat membutuhkan
pemecahan.
4. Pastoral sebagai Pendamaian (Reconsiling)
Salah satu
kebutuhan manusia untuk hidup dan merasa aman adalah adanya hubungan yang baik
dengan sesama, apakah dengan orang yang dekat: suami-istri, anak-anak, menantu-mertua
maupun dengan orang banyak: kelompok sebaya, masyarakat dan lain-lain. Oleh
sebab itu, maka manusia disebut makhluk sosial. Apabila hubungan tersebut
terganggu, maka terjadilah penderitaan yang berpengaruh pada masalah emosional.
Tidak jarang dengan adanya konflik tersebut, orang menjadi sakit secara fisik
yang berkepanjangan. Sering orang tersebut tidak sadar persis pada posisi mana
ia berpijak sehingga ia memerlukan orang ketiga yang melihat secara objekstif
posisi tersebut.
Dalam
situasi yang demikian, maka pendampingan pastoral dapat berfungsi sebagai
perantara untuk memperbaiki hubungan yang rusak dan terganggu. Pendamping dapat
menjadi cermin dalam hubungan tersebut (menganalisa hubungan). Menganalisa mana
yang mengancam hubungan, akhirnya mencari alternatif untuk memperbaiki hubungan
tersebut. Hal yang perlu mendapat perhatian pendamping adalah jangan sampai
pendamping memihak salah satu pihak, ia hendaknya menjadi orang yang netral
atau penengah yang bijaksana.
Fungsi dari
Pastoral ini adalah berupaya membangun ulang relasi manusia dengan sesamanya,
dan antara manusia dengan Allah. Secara tradisi sejarah, pendamaian menggunakan
dua bentuk yaitu pengampunan
dan disiplin, tentunya dengan didahului oleh pengakuan. Jika saya dan
anda mengalami situasi yang sangat berat, tidak mau mengakui kelemahan dan
cenderung menutup diri. Pendamaian berfungsi menuntun mereka kembali untuk
menemukan arti kediriannya diantara relasi dengan manusia lain dan dengan
Tuhan. Supaya mereka kembali berfungsi sebagaimana manusia pada umumnya.
C.
PENDETA SEBAGAI PASTOR DI TENGAH PANGGILAN
DAN PENGUTUSANNYA
1.
Panggilan dan Pengutusan
a. Makna Panggilan
Panggilan mengandung hubungan antara dua pihak, yang
memanggil dan yang dipanggil. Panggilan berbeda dengan perintah, karena yang
pertama lebih bersifat ajakan, sedangkan yang kedua lebih bersifat keharusan.
Dalam panggilan tidak ada ketentuan ataupun waktu. Dengan kata lain, yang
dipanggilan tidak perlu berada dekat dengnan titik pusat, si pemanggil. Yang
dipanggil bebas untuk bertindak, memenuhi panggilannya atau menolaknya.
Biasanya yang memanggil mempunyai maksud tertentu bagi yang dipanggil. Kalau
isi panggilan itu jelas, menarik, menguntungkan, biasanya orang sudi menerima
panggilan itu. Memang panggilan itu biasa saja bersifat paksaan, misalnya
panggilan untuk menghadap, seperti yang dilakukan diinstitusi negara/
pemerintahan atau militer.
Biasanya proses pemanggilan langsung ditujukan kepada
seseorang yang dikenal. Alkitab memberikan kesaksian bahwa Tuhan memanggil Musa
dan Samuel langsung dengan menyebutkan nama mereka (Kel. 3 : 4; 1 Sam. 3 ; 4),
begitu pula di alami Yakub (Kej. 46 : 2).[4] Itu berarti, bahwa Allah
sangat mengerti dengan siapa yang akan dipanggilNya, untuk suatu pekerjaan.
Apalagi mengenai pekerjaan yang akan dipercayakan Allah kepada mereka besar dan
berbau tantangan. Ia memilih orang-orangNya langsung, untuk menjalankan
rencana-rencananya. Syarat-syarat pemilihan atau penunjukkan-Nya mungkin jauh
berbeda dengan apa yang diterapkan di kalangan masyarakat untuk memilih dan
mengangkat pejabat. Ada kemampuan-kemampuan yang dilihat Tuhan, yang tidak
dilihat orang. Orang yang dipilih Tuhan sendiri merasa dirinya tidak mampu
(band. Abraham, Kej. 17:17-18; Musa, Kel. 4:13, juga Yeremia, Yer. 1:6). Malah
pada Yeremia ada satu keanehan, yakni bahwa Tuhan telah mengenalnya sebelum ia
dibentuk dalam rahim ibunya (Yer. 1:5).[5]
Itu
berarti bahwa Tuhan menyiapkan orang-Nya untuk melakukan
pekerjaan-Nya jauh sebelum waktunya orang itu harus tampil. Kalau demikian,
berarti Allah sendiri yang merancang setiap orang yang dipanggil untuk
dipekerjakan. Bagaimana kondisi dan keberadaannya, semua pada akhirnya menjadi
keputusan final dari Allah. Karena Allah sendiri yang menetapkan siapa yang
akan Dia pilih dan kemuadian dipanggilNya.
b. Makna Pengutusan
♫Kuutus kau mengabdi
tanpa pambrih, berkarya trus dengan hati teguh, meski dihina dan menanggung
duka; Kuutus ‘kau mengabdi bagiKu♫ Demikialah
sebaris syair no. 182 dalam Pelengkap Kidung Jemaat, yang biasanya dinyanyikan
umat dalam ibadah peneguhan pendeta. Syair tersebut merupakan amanat, bagi
mereka yang akan melaksanakan panggilan pengutusannya. Bagi setiap pendeta yang
mendengarkan syair lagu tersebut, memberikan motivasi ketika akan melaksanakan
tugas pelayanannya.
Syair lagu tersebut sejajaran dengan
yang diungkapkan di dalam kitab Yesaya 6 :8 “Lalu
aku mendengar suara Tuhan berkata: “Siapakah yang akan Ku-utus dan siapakah
yang mau pergi untuk aku?” Maka Sahutku: “Ini aku, utuslah aku!” Persoalannya sekarang mau diutus
kemana? Hal tersebut kemudian di jawab oleh Tuhan Yesus; “Pergilah, jadikanlah semua bangsa
muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan
ajarlah mereka segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu….” (Mat. 28:19-20).
Berdasarkan kesaksian Alkitab, Allah
Bapa di dalam Yesus Kristus yang merencanakan dan melaksanakan misi Allah untuk
menyelamatkan manusia, dunia, dan segenap isinya. Gereja Tuhan menjadi
penyelenggara misi Allah (missio Dei) berdasarkan panggilan dan
pengutusan oleh Allah. Gereja dipanggil dan diutus untuk mewujudkan tanda-tanda
kehadiran Kerajaan Allah di dalam dunia ini. Oleh sebab itu, Gereja harus
terlibat dan bersedia menjadi alat Allah dan berperan aktif dalam menghadirkan
tanda-tanda Kerajaan Allah yaitu tercapainya keadilan, perdamaian, dan keutuhan
ciptaan Allah tersebut.
Dalam Pemahaman Iman GPIB pada pokok
tentang gereja dikatakan: “Bahwa Allah telah memanggil dan menghimpun1) dari
antara bangsa-bangsa suatu umat bagi diri-Nya untuk menjadi berkat2). Panggilan
Allah tersebut tidak dapat dilihat secara terpisah dari rencana penyelamatan
yang sudah ditetapkan-Nya sejak sebelum dunia diciptakan.
Panggilan Allah nampak melalui
keputusan-Nya memilih (Yesaya 41:8) Israel sebagai hamba Tuhan-baik secara
individual maupun kolektif
untuk melaksanakan maksud penyelamatan (Yesaya 42:6; 44:21), membentuk (Yesaya43:7,
44:24) Israel menjadi perjanjian dan terang bagi umat manusia (Yesaya 43:6b) menghimpunkan Israel dari timur dan barat, utara dan
selatan (Yesaya 43:5,6) dan menjadi saksi-saksinya (Yesaya 43:10a), 21: 44:8b).
Sekalipun dalam perjalanan sebagai hamba Tuhan Israel telah gagal melaksanakan
ibadahnya (sehingga Allah menghukumnya), tetapi Allah tidak pernah gagal
melaksanakan firman yang telah disampaikan utusan-utusanNya. Oleh karena itu,
Allah berinisiatif untuk membaharui dan memulihkan keadaan ciptaanNya.[6]
2.
Pendeta Sebagai Pelaksana Pastoral
Istilah
pastoral berasal dari kata pastor dalam Bahasa Latin atau dalam Bahasa Yunani
disebut poimhn (baca= poimen) yang artinya “gembala”
atau pendeta (Ef.4:11)[7].
Secara tradisional dalam kehidupan gerejawi hal ini merupakan tugas utama
pendeta yang harus menjadi gembala
bagi jemaat atau dombaNya. Pengistilahan ini dihubungkan dengan diri Yesus
Kristus dan karyaNya sebagai “Pastor Sejati atau Gembala Yang Baik”.
Istilah pastor
dalam konotasi praktisnya berarti merawat atau memelihara. Sikap pastoral harus
mewarnai semua sendi pelayanan setiap orang sebagai orang-orang yang sudah
dirawat dan diasuh oleh Allah secara sungguh-sungguh. Penggembalaan atau pastoral adalah istilah
struktural yang diberikan bagi tugas pastor/pendeta atau tugas gembala sebagai
bagian dari Panggilan dan Pengutusannya sebagai pendeta.
Sebagai
pelaksana pendampingan Pastoral, seorang pendeta (sebagai gembala) perlu
menyadari bahwa seseorang atau kelompok tertentu (baca= keluarga) yang ia
dampingi adalah “kawanan domba” yang dititipkan Gembala Agung[8]
untuk dituntun dan diarahkan sesuai kehendakNya. Diarahkan sesuai kehendak Sang
Gembala Agung, berarti memberi penekanan tegas bahwa seorang
pendeta/gembala/pastor tidak pernah dibenarkan memakai standart dan motivasi
pelayanan pengembalaan menurut ukuran sendiri. Standart nilai suatu kebenaran
dalam pelayanan; motivasi pelayanan; mutu dan isi pelayanan harus pula terpusat
pada Yesus Kristus Sang Gembala Agung. Artinya jelas, bahwa parameter apapun
yang dipakai dalam tugas penggembalaan atau pendampingan pastoral itu harus
pada ukuran Kristus Yesus.
Seorang pendeta
yang melaksanakan pendampingan pastoral mestilah melihat, mengukur setiap
persoalan kawanan gembalaannya menurut Kristus Yesus. Ukuran kebenaran dan
standart nilai dimaksud adalah Firman Tuhan. Alkitab harus menjadi standart
nilai setiap kegiatan pendampingan pstoral tersebut yang diejawantahkan dalam
berbagai metode dan disiplin ilmu terkait. Ini berarti sang pendamping pastoral
perlu mewaspadai diri terhadap upaya menjadi pihak “penentu” terhadap kasus
tertentu yang terjadi dalam proses pendampingan tersebut.
Di sisi lain,
agar tindakan pendampingan pastoral dapat sesuai dengan kehendak Sang Gembala
Agung, maka pelayanan yang maksimal, penuh kepedulian dan rasa tanggung-jawab
penuh harus mewarnai setiap kebersamaan dengan kawanan gembalaannya (baca=
jemaat) yang sedang didampingi. Bisa terjadi “tindakan masa bodoh” ataupun
“setengah hati” dalam diri seorang pendeta apabila ia menganggap jemaat adalah
miliknya dan bukan milik Kristus Sang Gembala Agung yang “menitipkan” umatNya melalui
panggilan dan pengutusan pendeta itu.
D.
KELUARGA DALAM KOMPLEKSITAS KONFLIK
1.
Pengertian Konflik
Menurut Kamus Bahasa Indonesia Istilah
“konflik” berarti: Pertengkaraan atau Percekcokkan.[9]
Berdasarkan Kamus Bahasa Indonesia, maka dapat diartikan bahwa terjadinya
konflik dikarenakan adanya pertengkaran, perselisihan atau percekcokan
seseorang dengan orang lain. Selain itu, istilah konflik dapat juga diartikan
dengan perkelahian, peperangan, perjuangan yaitu berupa konfrontasi fisik
antara beberapa pihak, yang sering kali berujung pada kematian atau kehancuran,
seperti misalnya konflik antar suku dan agama.
Dalam perkembangan selanjutnya “konflik”
bukan hanya menyangkut konfrontasi fisik (perkelahian atau peperangan), tetapi
juga ketidaksepakatan atau oposisi atas berbagai macam kepentingan, ide dan
lain-lain. Konflik ini berarti perbedaan persepsi mengenai kepentingan dan
situasi ini sering terjadi di panggung politik. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa konflik dapat terjadi dikarenakan adanya ketidakcocokan,
ketidaksepahaman yang berujung pada pertengkaran, perselisihan yang bisa saja
berdampak pada perkelahian dan bahkan peperangan.
2.
Terjadinya Konflik
Konflik adalah suatu kenyataan hidup yang
tidak terhindarkan. Konflik memang merupakan bagian dari keberadaan kita, dari
tingkat antar pribadi hingga antar kelompok, organisasi (lembaga) dan semua
bentuk hubungan manusia tidak terkecuali dalam kehidupan berjemaat atau
bergereja. Konflik mengatasi ruang dan waktu, dimana ada kehidupan disitu ada
konflik. Konflik akan berhenti ketika kehidupan ini juga berhenti. Keliru
sekali jika kita berharap pindah ke suatu tempat yang lain, hanya untuk
menghindari konflik. Pada hal di tempat yang lain, konflik sudah menunggu
kehadiran kita.
Konflik terjadi karena
ketidakseimbangan antara hubungan manusia baik secara pribadi maupun kelompok,
misalnya kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang
tidak seimbang terhadap sumber daya serta kekuasaan yang tidak seimbang – yang
kemudian menimbulkan masalah-masalah seperti diskriminasi, pengangguran
kemiskinan, kejahatan. Masing-masing hubungan tersebut saling berkaitan,
membentuk sebuah rantai yang memiliki potensi kekuatan untuk menghadirkan
perubahan baik yang konstruktif maupun yang destruktif.
Konflik tidak terjadi jika
orang tidak bersosialisasi. Ketika sudah bersosialisasi pun konflik tidak
terjadi jika tidak muncul perbedaan kepentingan. Ketika perbedaan kepentingan
muncul pun belum akan terjadi konflik jika ada persamaan nilai untuk mengatasi
perbedaan kepentingan tersebut. Dengan demikian akar konflik yang terdalam
adalah perbedaan nilai. Nilai adalah gambaran abstrak dalam pemikiran orang
tentang “apa yang baik” yang dijadikan acuan berpikir dan pengambilan
keputusan. Nilai yang telah mengendap di dalam kesadaran manusia terbentuk melalui
pengalaman hidupnya, terutama pengalaman hidup di usia dini. Dari pengalamannya
orang menyimpulkan apa yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan sehingga
terjadilah standar nilai.
3.
Konflik Internal dalam Keluarga
Hampir setiap
hari Setiap orang diperhadapkan oleh berbagai persoalan yang kadang
menghadirkan konflik. Hal tersebut terjadi oleh karena adanya atau
terjadinya interaksi antara orang yang satu dengan orang yang lain. Dalam
proses berinteraksi itulah, maka sering terjadi konsep pemahaman yang sepaham,
namun sering pula terjadi perbedaan pendapat. Biasanya perbedaan pendapat dalam
suatu komunitas sering menjadi pemicu terjadinya konflik, Seperti misalnya
komutas kecil dalam keluarga. Karena yg namanya keluarga, ketika dalam proses
menata kehidupan rumah tangga, pasti akan menjumpai berbagai permasalahan kecil
ataupun besar, sedikit ataupun banyak. Permasalahan yg muncul ini dapat memicu
perselisihan atau konflik dalam rumah tangga yg bisa jadi berujung pada
pertengkaran, kemarahan yang bisa saja berdampak keributan yang tiada bertepi
atau berakhir dengan damai, saling mengerti dan saling memaafkan. Biasanya
konflik dalam rumah tangga diakibatkan oleh beberapa faktor, antara lain:
- Ketidakjujuran Menimbulkan Ketidakpercayaan
Ketika suatu rumah
tangga yang dibangun bersama dimulai dengan ketidakjujuran, maka disanalah awal
malapetaka terjadi. Dampak ketidakjujuran mengakibatkan timbulnya
kecurigaan-kecurigan yang sering kali berlebihan, baik oleh suami maupun oleh
istri. Setiap gerak-gerik mulai ditafsirkan dengan berbagai pandangan. Kalau
sudah seperti itu, maka sering kali kedekatan dengan teman atau rekan
kerja, biasanya mejadi pemicu pertengkaran yang kalau tidak cepat diatasi, maka
bisa saja merujuk pada keretakan rumah tangga bahkan perceraian.
- Perselingkuhan
Pemicu konflik
dalam rumah tangga biasanya terjadi karena adanya pihak ketiga, yang ikut
mengisi kehidupan pribadi, entah suami atau istri yang dikenal dengan istilah
perselingkuhan. Perselingkuhan biasanya terjadi karena sering berjumpa,
mengirim dan membalas sms dengan lawan jenis (teman akrap), mencurahkan isi
hati masing-masing tentang kehidupan pribadi, bahkan situasi atau keadaan rumah
tangga yang mungkin pada saat itu tidak stabil. Karena sering membangi
perhatian yang berlebihan itulah, mengakibatkan terjadinya pertemuan-pertemuan
terselubung sehingga perselingkuhan pun terjadi. Konflik akan muncul,
apabila yang terlibat dalam perselingkuhan tersebut ketahuan.
- Ekonomi yang tidak stabil
Faktor ekonomi
yang tidak stabil biasanya juga menjadi pemicu terjadinya konflik di dalam
keluarga. Ketika suami/ sang ayah sebagai kepala rumah tangga mengalami situasi
krisis akibat di PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), sedangkan anggota keluarga
tidak siap menghadapi situasi tersebut. Dipihak lain, kebutuhan hidup yang
melambung tinggi dan kebutuhan pendidikan anak akhirnya menjadi promblem yang
tidak dapat dihindari. Atau pada persoalan yang lain, dimana keluarga/ istri
menginginkan kehidupan yang mewah, seperti yang dilihat pada tetangga sebelah
rumahnya, sedangkan pendapatan suami tidak memadai untuk memenuhi permintaan
sang istri. Akibat dari masalah ini, terjadilah pertengkaran suami istri yang
bisa saja berakibat fatal, dalam kelangsungan kehidupan rumah tangga.
4.
Konflik Eksternal dalam Keluarga
Sebenarnya
konflik Eksternal muncul akibat dari konflik internal dan atau sebaliknya
(karena ada konflik Eksteral, kondisi rumah tanggapun mengalami konflik
internal) yang tidak dapat diatasi. Konflik dalam pekerjaan misalnya yang tidak
diselesaikan dapat menimbulkan berbagai masalah dalam bidang lain kehidupan
kita. Saya melewati periode kacau akibat perseteruan dengan bos yang tidak
peka. Kemudian, saya menemukan adanya efek negatif terhadap istri dan anak-anak
saya. Di rumah, saya tidak "hidup", saya cenderung banyak berpikir,
dan -- seperti yang mereka katakan kepada saya sekarang -- saya "tidak
terlalu senang ditemani".
Ketika rasa
frustasi yang berat membayangi kita, kualitas pekerjaan kita dan keakraban
hubungan kita dengan orang lain akan terpengaruh. Kesehatan kita -- secara
fisik maupun emosional -- juga dapat terganggu. Mungkin kita akan berhenti
berolahraga atau menarik diri dari teman-teman dan gereja pada saat kita merasa
semakin frustasi atau tertimpa kesedihan.
Contoh lain mengenai
konflik Eksternal. Lukas mempunyai masalah dalam hubungan dengan rekan sekerja
dan bosnya. Saya harus menentukan apakah memang mereka yang salah atau apakah
Luke memiliki kelemahan tak disadari yang turut memicu masalah. Kami menemukan
kesalahan pada kedua pihak. Luke memiliki beberapa kebiasaan yang sangat
menjengkelkan, dan bosnya perlu "pencangkokan kepribadian"! Konflik
berkepanjangan dengan orang lain merupakan sumber utama konflik eksternal.
Efeknya konflik
internalpun dialami oleh Lukas. Ia tidak sanggup memutuskan meninggalkan
pekerjaannya. Jadi, ia tetap mendua hati, berada di antara dua pilihan: rasa
aman (disertai kebosanan) dan risiko (disertai kegairahan). Kondisi ini
merupakan sumber konflik yang sangat besar, dan sikapnya terus memburuk selama
beberapa tahun ini. Luke telah membuat komitmen untuk mengikuti Kristus dan
hidup sebagai orang Kristen sejak kecil, namun secara perlahan ia menjadi orang
Kristen "Minggu-an". Ia merasa terpisah dari Allah karena ia juga
semakin dalam terlibat perselingkuhan dengan seorang rekan kerjanya yang sudah
menikah, dan ini menambah kekacauan yang sudah ada sebab keluarganya memanen
berbagai konflik.
5.
Memandang Keluarga sebagai Ekklesia
(gereja)
Banyak orang mendefinisikan gereja sebagai tempat
ibadah atau gedung peribadahan umat Kristen. Jika gereja didefinisikan demikian
maka arti dari gereja memberi kesan hanyalah suatu benda mati yang statis dan
tidak melakukan apa-apa karena Gereja hanyalah sebuah gedung buatan manusia
yang tidak memiliki nilai kehidupan di dalamnya.
Secara harfiah istilah gereja atau jemaat berasal
dari bahasa Yunani ekklhsia [10] (baca= ekklesia) dari dua suku kata ek = keluar
dari; dan kalev = memanggil. Dengan demikian,
ekklesia berarti orang yang dipanggil keluar. Secara alkitabiah kita dapat
merujuknya dalam 1 Petrus 2:9 yaitu: “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih,
imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya
kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil
kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib”. Berdasarkan Nats
di atas, maka definisi gereja adalah: orang-orang yang dipanggil Allah
dari kegelapan dosa dunia menuju pada terang keselamatan Ilahi. Dengan
demikian gereja bukanlah gedungnya, melainkan kumpulan orang percaya yang
adalah jemaat Tuhan.
Oleh karena ekklesia berarti kumpulan
orang (lebih dari satu) yang dipanggil keluar dari kegelapan menuju terang
seperti disebutkan di atas, atau ekklesia berarti jemaat maka dapatlah dengan
tegas disimpulkan bahwa Keluarga orang percaya juga merupakan ekklesia “kecil”
dalam lingkup rumah tangga. Maka ketika pendeta melakukan Pendampingan Pastoral
pada suatu keluarga tertentu dalam jemaat, ia tidak hanya melakukan
pendampingan pastoral pada keluarga biasa, namun pendampingan itu dilakukan
pada ekklesia (baca= umat) Allah yakni keluarga yang adalah gereja terkecil.
Ini berarti kualitas pelayanan yang ia
berikan kepada suatu keluarga tertentu tersebut haruslah sebanding dengan
kualitas pelayanan pada umumnya ketika pelayanan rutin ia kerjakan sebagai
seorang pendeta/gembala/pastor. Mengangap suatu keluarga adalah juga ekklesia
Allah akan membantu pendeta atau sang pelaksana pendampingan pastoral untuk
memberlakukan keluarga yang sedang dalam kesulitan itu sebagai domba yang membutuhkan
pembimbingan sebagaimana tugas pendeta dalam jemaat. Sehingga
pendekatan-pendekatan tertentu yang dipakai akan lebih daripada sekedar relasi
sosiologi; status sosial dll melainkan relasi fungsional seorang gembala yang
melayani ekklesia Allah.
Kasus “Lukas” di atas sebagai contoh
misalnya. Dengan memandang Lukas dan keluarganya sebagai Ekklesia Allah dan
kawanan domba, maka seorang Pendeta atau Pastor ketika memasuki wilayah konfik
tersebut tidak akan menganggap dirinya sebagai sebagai “hakim” yang akan
memberikan “penghakiman” soal benar salah, atau tidak sebagai “algojo” yang
memberikan hukuman dan deraan, namun sebaliknya justru tampil sebagai seorang
pelayan yang melayani dan seorang gembala yang mengayomi sehingga keluarga
dapat terdampingi sebagai kawanan domba Allah tempat di mana Sang Pendeta itu
dipanggil dan diutus olehNya. Tanpa keinginan untuk menempatkan diri sebagai
pelayan yang melayani dan gembala yang mengayomi serta keluarga tersebut tidak
dilihat sebagai ekklesia Allah, maka pendampingan Pastoral tidak mungkin
berjalan maksimal.
Sehubungan dengan keluarga adalah ekklesia
Allah, seorang pendeta-pun haruspula membangun hidup rumah tangganya sendiri
dalam pemahaman ekklesia Allah. Keluarga pendeta dan kehidupannya adalah figur
“percontohan” tentang “mereka yang telah dipanggil keluar dari kegelapan menuju
terangNya yang ajaib” itu atau ekklesia Allah tadi. Artinya adalah suatu “batu
sandungan” bagi jemaat ketika sang gembala mengupayakan arah keluarga-keluarga
jemaat melesat menuju “terang Allah” yang ajaib itu, namun justru keluarganya
sendiri masih berada dalam panggung “kegelapan” tersebut. Pelayanan
penggembalaan seorang pendeta dimulai dalam keluarganya sendiri dan kemudian
barulah melintas batas ke wilayah-wilayah konflik ekklesia Allah yang lain
yakni keluarga-keluarga jemaat.
E.
MENENTUKAN FUNGSI PASTORAL DALAM KONFLIK
INTERNAL KELUARGA
Dalam rangka menjadi seorang konselor/pendamping
dalam konflik internal keluarga di dalam jemaat, maka penggabungan Fungsi
Pastoral sebagai Pendampingan dan Pendamaian sangatlah disarankan sebagai
metode pendampingan pastoral. Sebelum sampai pada penerapan fungsi pastoral
tersebut, seorang pendeta minimal perlu melewati dua tahap pertama secara umum,
yakni mengenal keluarga yang akan didampingi dan selanjutnya memetakan masalah dari hasil pengenalan
tersebut. Dua tahap dimaksud akan diuraikan di bawah ini.
1.
Mengenal Keluarga yang Akan Didampingi
Seperti seorang pengacara yang hendak
mendampingi untuk menangani dan menyelesaikan persoalan yang dihadapi kliennya,
maka ia terlebih dahulu harus mengenal si klien dengan sangat baik, sehingga
persoalan yang dihadapi kliennya dapat teratasi. Begitu juga dengan seorang
pendeta yang akan menjadi pendamping seperti contoh keluarga Lukas
yang sedang diperhadapkan pada situasi konflik.
Seorang pendeta yang akan tampil
sebagai konselor, harus mengetahui kehidupan keluarga yang akan dibimbingnya,
dimana dia bekerja, siapa-siapa saja yang tinggal di dalam rumah, lingkungan
tempat tinggal seperti apa, bagaimana karakter masing-masing yang sedang
menghadapi konflik. Informasi-informasi tersebut paling tidak harus diperoleh
oleh seorang pendeta dari beberapa sumber, misalnya dari majelis jemaat atau
mungkin warga jemaat yang kebetulan berada dilingkungan tempat tinggal yang
sama dan atau berada diwilayah/ sektor pelayanan dimana yang bersangkutan
mengambil bagian didalamnya, atau mungkin dari yang bersangkutan sendiri.
Karena itu, untuk menindaklanjuti proses pendampingan, maka ada beberapa
langkah yang harus dilakukan oleh seorang pendeta, antara lain:
a.
Kunjugan Rumah Tangga
Pada umumnya
setiap keluarga yang aktif dan produktif sangat sulit dijumpai pada waktu pagi,
siang bahkan kadang malam. Apalagi kalau suami dan istri mempunyai tingkat
kesibukan yang tidak jauh berbeda di kantor yang mungkin jarak
tempunya sedang atau mungkin dan disertai kemacetan di jalan, seperti misalnya
di kota Jakarta, maka peluang untuk berjumpa pada malam hari terkadang sangat
sulit. Tetapi tidak semuanya situasi seperti itu dihadapi, karena di tempat
yang lain, tingkat kesibukan sering bervariasi. Hal itu berarti, bahwa gembala
harus menyelidiki dulu keadaan jemaat untuk mencari tahu, kapan anggota jemaat
ada di rumahnya, dan dimana bisa bertemu dengan mereka. Ada yang sebaiknya
dikunjungi pada waktu pagi, ada yang lebih baik dikunjungi pada waktu sore atau
malam. Dalam tiap-tiap jemaat keadaan berbeda satu dengan yang lain[11]. Tindakan tersebut
haruslah dilakukan sehingga proses perkunjungan dapat terlaksana.
b.
Percakapan Pastoral
Percakapan ialah
terjadinya komunikasi/ dialog antara orang yang satu dengan orang yang lain,
ketika berjumpa atau bertemu. Misalnya seorang pedagang dan pembeli akan
membuka perkapan melalui proses jual beli dan tawar menawar. atau seorang teman
berjumpa dengan teman yang lain, maka sudah pasti akan terjadi dialog atau
percakapan di antara mereka. Biasanya bentuk percakapan seperti ini, disebut
percakan biasa, dangkal dan ringan. Berbeda dengan percakapan atau dialog yang
sifatnya ilmiah, maka bobot atau kwalitas percakapan
tersebut akan menjadi dominan.
Bagaimana dengan
percakapan pastoral? Percakapan pastoral ialah ketika terjadinya perjumpaan dan
percakapan antara pendeta sebagai konselor dengan orang lain (baca=jemaat) yang
inti percakapannya bersifat persoalan yang dicarikan jalan keluarnya. Hal ini
yang membedakan percakapan pastoral dengan percakapan-percakapan yang lain.
Dalam percakapan pastoral, pastor sebagai utusan bukanlah satu-satunya yang
mengadakan percakapan dengan anggota jemaat. Ada orang ketiga yang turut
mengambil bagian dalam percakapan dan pelayanan itu, yakni Yesus Kristus
Gembala yang Agung. Malahan Dialah yang memainkan peranan yang paling penting
di situ. Karena itu, dalam pelayanan pastoral suaraNya, firmanNya harus turut
didengarkan[12].
Sehubungan
dengan itu, orang lebih suka merumuskan percakapan pastoral sebagai pelayanan
yang ditugaskan oleh gereja dan melalui gereja oleh Pastor Agung; Yesus
Kristus. Pastor yang menjalankan pelayanan itu tidak melakukannya atas nama dan
berdasarkan kewibawaannya sendiri, tetapi atas nama dan berdasarkan kewibawaan
Yesus Kristus. Ia melakukannya sebagai utusan dan pelayan-Nya[13].
Di dalam
percakapan awal inilah seorang pendeta akan lebih banyak mengenal keluarga
jemaat yang ia kunjungi termasuk-pun beberapa pergumulan/persoalan rumah tangga
yang dihadapi oleh keluarga tersebut.
c.
Raport atau Nilai Kepercayaan
Raport adalah istilah
pengembalaan yang menunjuk pada nilai kepercayaan. Apabila seorang pendeta atau
konselor telah mendapatkan raport atau kepercayaan, akan memudahkan ia sebagai
konselor dan orang lain sebagai konseli untuk saling membuka diri. Keterbukaan
seorang konseli terhadap konselor dalam proses konseling tersebut hanya mungkin
terjadi jika si konseli “percaya” kepada konselornya. Hal ini berarti seorang
konselor, dalam hal ini pendeta misalnya, haruslah “orang yang tepat” yang
memilki kemampuan dan kualitas sebagai seorang konselor. Bukan hanya kemampuan
bicara saja atau ketrampilan tertentu, seorang konselor dituntut memiliki suatu
kepribadian khusus.
Alistair
V.Campbell, teolog dari Inggris, menuliskan bahwa pelayanan pastoral bukan
sekedar melaksanakan pekerjaan-pekerjaan baik dengan tehnik-tehnik yang
canggih. Pendampingan pastoral menuntut para pendamping menjadi orang yang
berkepribadian khusus, bukan sekedar orang yang dilatih sangat profesional
(yang penting bukan apa yang dilakukan, tetapi orangnya) [14].
Hal ini memberikan penekanan tentang
betapa pentingnya kualitas seorang konselor untuk dapat memperoleh raport dari
konselinya untuk kemudian berhasil sebagai konselor. Kepribadian khusus yang
dimaksud di ataspun jika ditelaah lebih jauh cendrung abstrak dan sulit untuk
menemukan parameter tetap yang ideal. Namun menurut penulis, standart yang
paling jelas adalah standart kitab suci tentang karakter seorang pelayan.
Sehubungan dengan karakter pelayan dalam jemaat,
Paulus telah memberikan beberapa rambu yang cukup jelas dalam 1Tim.3:1-13. Pada
bagian alkitab tersebut ada beberapa syarat yang diajukannya ketika seseorang
menjabat sebagai penilik jemaat dan diaken dalam jemaat (baca= pelayan), yakni:
NO
|
PENILIK JEMAAT
|
NO
|
DIAKEN DALAM JEMAAT
|
|
1
|
Seorang yang tak becacat
|
1
|
Orang terhormat (dihormati orang)
|
|
2
|
Suami dari satu istri
|
2
|
Jangan bercabang lidang
|
|
3
|
Dapat menahan diri
|
3
|
Jangan penggemar anggur
|
|
4
|
Bijaksana
|
4
|
Jangan serakah
|
|
5
|
Sopan
|
5
|
Memelihara rahasia iman
|
|
6
|
Suka memberi tumpangan
|
6
|
Lolos uji
|
|
8
|
Cakap mengajar orang
|
8
|
Tidak bercacat dalam pelayanan
|
|
9
|
Bukan peminum
|
9
|
Jangan pemfitnah
|
|
10
|
Bukan pemarah melainkan peramah, dst
|
10
|
Istrinya adl orang terhormat, dst
|
Dari
gambaran alkitabiah di atas, maka seorang pendamping pastoral disebut memiliki
kepribadian khusus dalam standart kualitas khusus adalah mereka memiliki
kemapuan spiritual, religiusitas yang baik dan terejah dalam prilaku hidup
sehingga dapat dipercaya oleh orang lain. Dengan karakter seperti ini, kiranya
kemudian akan membantu si konsili memberikan raport (nilai kepercayaan tadi)
kepada sang konselor yang melaksanakan tindakan pendampingan pastoral tersebut.
Namun kepribadian tersebut harus pula dibarengi dengan kesediaan konselor
“LEBIH DULU” membuka diri di hadapan konselinya dengan maksud meminimalisir “jurang” yang ada
sehinga si konseli-pun tergerak untuk membuka dirinya. Keterbukaan konsili
inilah yang kemudian menjadi gerbang besar hadirnya nilai kepercayaan tadi.
2.
Menjadi Pendamping dalam Menghadapi
Konflik
Telah disebutkan di atas bahwa Fungsi
Pastoral sebagai Pendampingan /
pembimbingan (Guilding), merupakan panduan untuk menunjukkan jalan yang
benar bagi seseorang sampai ia dapat mengambil suatu keputusan. Orang yang
didampingi, ditolong untuk memilih/ mengambil keputusan tentang apa yang akan
ditempuh atau apa yang menjadi masa depannya. Untuk lebih jelasnya kita sebaiknya
mengambil contok kasus “Keluarga Lukas” tadi, yakni:
Lukas
mempunyai masalah dalam hubungan dengan rekan sekerja dan bosnya. Saya harus
menentukan apakah memang mereka yang salah atau apakah Lukas memiliki kelemahan tak disadari yang
turut memicu masalah. Kami menemukan kesalahan pada kedua pihak. Lukas memiliki beberapa kebiasaan yang sangat
menjengkelkan, dan bosnya perlu "pencangkokan kepribadian"! Konflik
berkepanjangan dengan orang lain merupakan sumber utama konflik eksternal. Efeknya konflik internal dalam keluargapun dialami oleh
Lukas. Ia tidak sanggup memutuskan meninggalkan pekerjaannya. Jadi, ia tetap
mendua hati, berada di antara dua pilihan: rasa aman (disertai kebosanan) dan
risiko (disertai kegairahan). Kondisi ini merupakan sumber konflik yang sangat
besar, dan sikapnya terus memburuk selama beberapa tahun ini. Luke telah
membuat komitmen untuk mengikuti Kristus dan hidup sebagai orang Kristen sejak
kecil, namun secara perlahan ia menjadi orang Kristen "Minggu-an". Ia
merasa terpisah dari Allah karena ia juga semakin dalam terlibat perselingkuhan
dengan seorang rekan kerjanya yang sudah menikah, dan ini menambah kekacauan
yang sudah ada sebab keluarganya memanen berbagai konflik.
Marilah
memperhatikan kasus ini dengan seksama. Bahwa dalam setiap konflik selalu ada
korban. Siapakah korban tersebut, jawabnya semua pihak yang terlibat konflik
baik langsung maupun tidak langsung. Jika di telaah kasus ini maka beberapa
“korban” konflik antara lain: Lukas sendiri (pekerjaan; ketenangan bantin; dosa
perzinahan); Atasan dan teman sekator Lukas (kondusifitas pekerjaan terganggu
dengan sikap Lukas, ketenangan batin); Istri Lukas (keharmonisan keluarga;
dilecehkan sebagai istri; korban perzinahan; luka batin); Anak-anak Lukas
(keharmonisan rumah tangga; haus kasihsayang dari figur ayah; tekanan
psikologis akibat pertengkaran orang tua); dan pihak lain misalnya mertua-orang
tua ataupun tetangga.
Apabila
sang pendeta telah mengetahui kasus ini, apakah melalui orang lain yang tidak
terlibat konflik ataupun langsung dari si “korban” konflik (Istri Lukas
misalnya), maka tindakan cepat tanpa ulur waktu haruslah segera dilakukan oleh
pendeta. Sang Pendeta secepat mungkin mulai merencanakan kunjungan khusus dan
menyiapkan diri melakukan pendampingan pastoral terhadap keluarga itu secara
menyeluruh sebagai anggota jemaat. Pendampingan Pastoral akan lebih mudah
terlaksana apabila salah satu “korban” yang secara terbuka menyampaikan
persoalan ini kepada pendetanya. Jika kondisi ini terjadi, sang konselor yang
akan melakukan pendampingan akan amat mudah memperoleh kepercayaan.
Pada
saat inilah Fungsi Pastoral sebagai Pendampingan / pembimbingan (Guilding)
mulai dilaksanakan. Kesediaan sang konselor yang mendampingi mencurahkan waktu
dan hati dalam persoalan konflik ini menjadi salah satu faktor penentu
keberhasilannya untuk mendampingi keluarga yang menghadapi konflik rumah
tangga. Dalam hal ini kunjungan ke rumah adalah pilihan tepat sebagai lokasi
percakapan dan bukan di kantor gereja dan tempat lainnya yang rawan terhadap
tidak terjaminnya privasi seseorang. Sangat dianjurkan bahwa kunjungan tersebut
dilakukan lebih dari sekali sebagai “sinyal” bagi keluarga bahwa pendetanya
yang sedang melaksanakan pendampingan pastoral menanggapi dengan serius dan
menempatkan pergumulan mereka sebagai prioritas utama dari agenda pelayanannya.
Fungsi
dan peran pastoral sebagai Pendampingan / pembimbingan (Guilding)
ini bertujuan untuk mendampingi korban (dalam hal ini istri Lukas misalnya)
untuk tidak membuat keputusan yang keliru sebagai pilihan solusi akhir. Solusi
yang keliru misalnya: dalam keadaan frustasi terhadap tingkah suaminya
(Lukas-red), sang istri kemudian berpikir untuk meninggalkan rumah, atau
memilih perceraian sebagai keputusan mutlak dan atau lebih fatal lagi, bunuh
diri! Hal utama yang mesti dilakukan oleh seorang pendeta ketika melakukan
pendampingan pastoral dalam hal fungsi Pendampingan / pembimbingan (Guilding)
ini adalah memberi telinga untuk mendengar. Hal ini penting sebagai fungsi
pendampingan dalam hal meringankan tekanan emosional istri Lukas lewat membukan
saluran komunikasi untuk membagi tekanan tersebut dengan cara mengungkapkan isi
hati.
Apabila
tahap mendengarkan sudah dianggap cukup[15],
maka saatnya pagi konselor untuk memberikan pembimbingan lewat kalimat-kalimat
yang bijak dan menguatkan. Dalam hal ini dibutuhkan keahlian untuk menyeleksi
setiap istilah untuk membentuk suatu kalimat yang meyakinkan konseli (istri
dari Lukas) bahwa pendetanya amat mengerti dan TURUT MERASAKAN pergumulan dan
tekanan persoalan yang dihadapinya. Artinya seorang pendeta yang melakukan
pendampingan pastoral harus mampu untuk bukan sekedar simpati namun juga mampu
berempati atau BERBELA-RASA. Hindari kalimat yang “menyalahkan” dan menyudutkan
si konseli sekalipun kalimat dan ucapannya terkesan “ngawur” dan tidak sesuai
dengan ajaran TUHAN. Kalaupun pernyataannya keliru, bantahlah dengan kalimat
positif seperti: “saya mengerti… namun
mungkin ada cara lain…” atau juga berupa kalimat dukungan yang sebenarnya
mematahkan solusi keliru si konseli, misalnya: “itu benar, sebab wanita mana yang bersedia dikhianati… namun saya
percaya bahwa ibu memiliki nilai lebih dari wanita pada umumnya… karena TUHAN
ada dipihak orang yang remuk hatinya…”. Secara tidak langsung,
kalimat-kalimat seperti ini adalah pengejawantahan dari fungsi pastoral sebagai
Pendampingan/pembimbingan (Guilding) yang pada akhirnya dalam
berbagai percakapan selanjutnya akan membawa kesadaran positif bagi Istri pak
Lukas bahwa masih ada jalan lain selain perceraian ataupun bunuh diri. Dalam
hal ini solusi yang ia pikirkan telah di re-solusi dalam proses pendampingan
tersebut.
Menemukan
bahwa “masih ada jalan lain” menghadapi konfik dalam keluarganya, akan membuat
si konseli memberi diri untuk lebih terbuka mencari tahu cara menempuh
alternatif lain dari solusi keliru yang telah ditetapkannya. Dengan
pembimbingan dan pendampingan yang efektif serta kualitas pertemuan yang
maksimal, maka sang pendeta sebagai konselor akan berhasil mengantar si konseli
untuk menyimpulkan bahwa perceraian dan bunuh diri itu adalah KEKEJIAN BAGI
TUHAN yang mendatangkan dosa. Akhirnya ia-pun menemukan re-solusi baru terhadap
konflik tersebut, yakni mengupayakan PERDAMAIAN demi keluarga dan juga
keselamatan jiwa suaminya. Sekali lagi HAL INI tidaklah mudah namun butuh
proses yang tidak bisa ditentukan oleh waktu. Dalam hal ini sang konselor harus
memiliki tingkat kesabaran ekstra dan kemampun untuk tidak mudah menyerah.
Ingatlah bahwa pekerjaan yang sedang dilakukannya adalah pekerjaan TUHAN untuk
memulihkan hubungan rumah-tangga yang telah dipersatukanNya.
3.
Menjadi Pendamaian antar kedua pihak yang
terlibat Konflik
Sebagaimana
disebutkan di atas bahwa Fungsi dari Pastoral ini adalah berupaya membangun
ulang relasi manusia dengan sesamanya, dan antara manusia dengan Allah. Secara
tradisi sejarah, pendamaian menggunakan dua bentuk yaitu pengampunan dan
disiplin, tentunya dengan didahului oleh pengakuan.
Jika saya dan anda mengalami situasi yang sangat berat, tidak mau mengakui kelemahan dan cenderung menutup diri. Pendamaian berfungsi menuntun mereka kembali untuk menemukan arti kediriannya diantara relasi dengan manusia lain dan dengan Tuhan. Supaya mereka kembali berfungsi sebagaimana manusia pada umumnya.
Jika saya dan anda mengalami situasi yang sangat berat, tidak mau mengakui kelemahan dan cenderung menutup diri. Pendamaian berfungsi menuntun mereka kembali untuk menemukan arti kediriannya diantara relasi dengan manusia lain dan dengan Tuhan. Supaya mereka kembali berfungsi sebagaimana manusia pada umumnya.
Khusus pada kasus pak Lukas, “target” pendampingan
pastoral yang harus dilakukan oleh seorang pendeta terhadap Pak Lukas sebagai
pribadi adalah menyadarkannya bahwa cara hidup yang ia lalui yakni
perselingkuhan adalah dosa. Pendeta dalam pendampingan pastoral untuk fungsi
pendamaian ini memfokuskan kemampuannya sebagai konselor untuk mengajak pak
Lukas menikmati kembali suasana perdamaian dengan Allah dan keluarganya serta
lingkungan tempat ia bekerja. Langkah penting yang harus diambil oleh seorang
pendeta adalah MENCARI dan MENEMUKAN pak Lukas agar kembali ke jalan yang
dibenarkanNya.
Artinya, konselor-lah yang harus lebih pro-aktif menemui
konseli. Prinsip yang diambil dalam kondisi seperti ini adalah “Dosa Harus ditelanjangi, namun orangnya
jangan dipermalukan”. Perhatikanlah kisah dalam Yohanes 8:1-11, bahwa Yesus
membenci tindakan dosa perzinahan yang dilakukan oleh perempuan itu, namun ia
mengasihi pelaku dosa tersebut. Inti dari setiap percakapan yang dilakukan oleh
pendeta terhadap Pak Lukas harus bermuara pada kesadaran: “aku (pak Lukas)
telah berdosa kepada Tuhan”. Sebab tanpa kesadaran itu, si konseli akan tetap
merasa benar. Tanpa kesdaran itu, si konseli tidak mungkin memohon pengampunan
dari Allah agar ia beroleh pendamaian dariNya melalui kasih karunia. Tanpa
kesadaran itupula si konseli tidak akan pernah untuk membaharui hubungannya
dengan keluarga dan istrinya agar tercapai pendamaian dan keutuhan rumah
tangga.
Target ini tidaklah mudah. Sebab pada hakekatnya semua
manusia memiliki “sifat unik” yakni sulit mengaku salah. Sifat unik ini sudah
ada sejak peristiwa Taman Eden. Kecendrungan untuk merasa diri benar lewat
melimpahkan kesalahan pada orang lain adalah kenyataan yang selalu hadir dalam
kehidupan manusia ketika ia harus diminta pertanggung-jawabannya.
Hal inipula yang akan dihadapi oleh pendeta sebagai
konselor dalam kasus pak Lukas. Bagaimana mengatasinya? Metode khusus-pun tidak
ada dalam teori ini, namun pendekatan yang dilakukan seperti pada Istri Pak
Lukas di atas dapat pula diterapkan. Sebagai seorang Konselor, pendeta akan
menemui banyak kesulitan terhadaap kondisi-kondisi seperti ini dalam hal
mengantar seseorang pada suatu pengakuan dosa untuk kemudian menerima
pendamaian. Namun inilah yang menarik. Wibawa Rasuli yang dimiliki oleh seorang
pendeta adalah “alat” yang disediakan Tuhan untuk membuat seseorang, melalui
pelayanan hambaNya BERTEKUK LUTUT pada Sang Pemilik Hidup. Dengan kata lain,
penyertaan Tuhan dan kuasaNya amatlah menjadi prioritas utama untuk diandalkan
oleh seorang konselor menghadapi kebebalan hati si konseli-nya.
Pelayanan pendamaian ini sungguh suatu anugerah bagi
setiap hamba-Nya. Karena itu sikap “rendah hati” tanpa niat “menuding jari”
bagi yang telah berbuat dosa adalah sikap terpuji untuk kemudian si konseli
dianugerahi pengampunan dari Allah alias mengalami pendamaian dengan Tuhan. Jika
Pak Lukas berhasil terlayani dalam pelayanan pendamaian tersebut, yakni ia
telah didamaikan oleh Allah dan menerima pengampunannya, maka akan menjadi
lebih mudah untuk kemudian mendamaikan Pak Lukas dengan keluarganya termasuk
istri dan anak-anaknya.
[1] Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar dan Konseling Pastoral. (Yogyakarta: Kanisius,
2002) hlm. 53-54
[2] Psikosomatis adalah istilah medis yang
diambil dari dua suku kata: Psiko=pikiran;
dan Soma=tubuh. Psikosomatis adalah
penyakit yang timbul atau disebabkan oleh kondisi mental atau emosi seseorang
yang berdampak pada fisiknya. Secara sederhana psikosomatis berarti penyakit
fisik (gangguan fisik) yang disebabkan oleh pikiran atau emosi tertentunseperti
stress, kecewa, rasa bersalah, cemas dll.
[3] Aart
Van Beek, Pendampingan Pastoral.
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007) hlm. 14
[4] O.E.Ch Wuwungan, Bina Warga: Bunga Rampai Pembinaan Warga
Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, Cetakan-2, 19950 hlm. 63.
[5] Ibid, hlm. 64
[6] Materi
III kepejabatan: Panggilan, tugas dan tanggungjawab sebagai Pemimpin Gereja
yang melayani. Materi bina Calon Penatua & Diaken GPIB 2007-2012
[7] Barclay M. Newman Jr., Kamus Yunani-Indonesia. (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2004) hlm.136
[8] Sebutan “Gembala Agung” dalam 1 Petrus
5:4 untuk Tuhan Yesus memang sebuah gelar kebesaran dan kemuliaan, tetapi
seperti yang tersirat dalam ayat itu, harganya bukan kepalang..., yaitu
kematian! Lih: B.A. Abednego, “Tantangan
dan Kesempatan dalam tugas Pengembalaan Gereja di Indonesia Mengantisipasi Abad
Ke-21” dalam: Ferdinan Suleeman dkk., Bergumul
Dalam Pengharapan – Buku Penghargaan untuk Pdt. Dr. Eka Darmaputera,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004) hlm. 72-73.
[12] J.L.
Ch. Abineno, Pedoman Paraktis untuk Pelayanan Pastoral, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2010) hlm. 88.
[14] Alistair V.Campbell, Rediscovering
Pastoral Care. 2nd edition. (London: Darton, Longman &
Todd,1986), hlm.15-16.
[15]
Ukurannya memang relatif, namun pada
umumnya terlihat dari ekspresi wajah yang
mulai rileks dan atau perbendaharaan kata yang muncul dari Istri Lukas
mulai berkurang kuantitasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar